Saturday, February 26, 2011

Fundamentalisms Narrated: Muhammadiyah, Sumarah, Primitive Baptist, and Pentecostal

Fundamentalisms Narrated: Muslim, Christian, and Mystical

James L. Peacock and Tim Pettyjohn


In: 1995. Fundamentalism comprehended. Ed. Martin E. Marty and R. Scott Appleby. (The Fundamentalism project; v. 5). Chicago: The University of Chicago Press. Pp. 115-134.


As academics attempting to describe fundamentalists, we might well ask how fundamentalists describe themselves. Perhaps the central problem of defining fundamentalism lies in bridging the inevitable gap between an abstract set of criteria and a varied empirical phenomenon; “fundamentalism” is never quite able to encompass all the “fundamentalisms” (p. 115).

In our interrogation of the diverse narratives that follow, the basic questions that we are asked to address in this volume will guide our inquiry. These questions roughly divide into negative and positive characterizations of the identity of the movement in question. We ask either what the movement is for or what it is against. Is it reactive or oppositional, and if so, against what? Is it against modernity, for example, seeking to restore an old order; is it counterhegemonic, seeking to win or reclaim power in some domain that has been lost to the secular? On the positive side, is its identity totalistic, that is, creating a “total way of life?” In doing so, does it appeal to charismatic and authoritarian (especially male) leaders, or to sacred sources of authority characterized as infallible in contrast to the foibles of human rationality? Doing this, must it seek converts, must it be militant, or does it find other ways of relating to outsiders? And do these relations with outsiders render the movement exclusivist, concerned with its own internal purity? (pp. 116-7)

The narratives we examine are life stories of four leaders of religious movements among which the senior author has done participant observation. The four can be divided into pairs, each pair representing a polarity within its particular geographic and cultural area. One pair is located in central Java, the Surakarta/Jogjakarta area where a sultanate remains alive… Within this area, as scholars have observed, there is a dominant polarity between a purist Islam and a syncretic… The syncretic/mystical pole is represented here by Sumarah, the purist Islamic pole by Muhammadijah… Muhammadijah, founded in Java but with branches throughout Indonesia, is a large, well-organized Islamic fundamentalist movement that seeks a return to the uncorrupted text of the Qur’an, the word of Allah, and to the pure religion of Muhammad. However, unlike many Islamic fundamentalist groups in the Middle East, Muhammadijah is not a political party, nor is it directly allied to one; this has enabled the organization to survive changes in Indonesia’s political climate and grow into the most prominent movement of its type in Southeast Asia… (p. 116)

The second pair… represent a pervasive polarity within Protestant Christianity; the polarity between the Calvinist and the Arminian (or Wesleyan) soteriologies. The Calvinist professes that God decided before the foundation of the earth who would be saved and who damned, hence one’s fate in the next life is predestined. The Arminian holds that the individual has free will to choose whether or not to be saved. Here the Calvinists are represented by Primitive Baptists… while the Arminian/Wesleyans are represented by Pentecostals… (p. 116)

While one would not wish to press these parallels too far, one could see a certain homology between the Primitive Baptists and the Muhammadijans on the one hand, Sumarah members and the Pentecostals on the other. Primitive Baptists and Muhammadijans both seek to return to a scriptural and original faith; in this sense, they conform to the popular conception of “fundamentalist” religion. Equally, both groups hold doctrine to be eternal, an objective verity resting beyond the individual’s flawed ability to comprehend it. In contrast, the Sumarah and Pentecostals are more subjectively oriented, even mystical, because their main concern is with spiritual experience, as opposed to the heavily doctrinal focus of Muhammadijans and Primitive Baptists. To the member of the Sumarah meditation group or Pentecostal congregation, experience apprehends what scripture cannot convey, and the ephemeral signals the eternal. Despite the geographical differences, then, certain similarities of logic and patterning justify the choice of these cases for comparison. In any event, there is advantage in that the senior author has enjoyed direct involvement in all (p. 117).

Friday, February 25, 2011

Muhammadiyah Scholars and Democratic Transition in Post-New Order Indonesia

Muhammadiyah Scholars and Democratic Transition in Post-New Order Indonesia: The Critical Response of Muhammadiyah Scholars to Radical Islamist Movements

K U L T U R, The Indonesian Journal for Muslim Cultures
Volume 5, Number 1, 2010, pp. 47-62

M. Hilaly Basya*
* M. Hilaly Basya is a lecturer at the Master Program of Islamic Studies, the University
of Muhammadiyah Jakarta

Abstract
Following the fall of Suharto’s New Order regime in Indonesia, the nation is experiencing a transition to democracy. This very democracy is, however, threatened by the rapid growth of Islamist movements which aspire to the implementation of shari’a throughout Indonesia and the establishment of an Islamic State. In its most extreme form, the contest is between theocracy and democracy. In this contestation of ideologies the voice of Muhammadiyah, as one of the country’s leading mass religious organizations, carries considerable weight. This article reviews and discusses the perceptions of a number of influential Muhammadiyah scholars. It finds that Muhammadiyah encompasses both progressive and conservative wings, and that there is heated debate between them over issues of religion and state. This can be seen in their attitudes towards Salafism and secularism, and is reflected by their two distinctly different approaches to tackling radical Islamic movements – the political approach and the cultural approach. The heart of the debate lies in the ability and/or willingness of Muslim leaders generally and Muhammadiyah scholars in particular to contextualize the values of Islam within modern social and political theories, and align them with the growth and consolidation of democracy in Indonesia.

Keywords
Radical Islam, Muhammadiyah, moderate progressive, democratic transition, youth movement

Tuesday, February 22, 2011

Muhammadiyah: Sebuah Restrospek

Ahmad Syafii Maarif

Maarif, Ahmad Syafii. 2006. Islam dan Pancasila sebagai dasar negara. Jakarta: LP3ES. Pp. 74-80.

Sebuah tantangan besar, bila bukan yang terbesar, yang dihadapi gerakan-gerakan modernis Islam di seluruh dunia, seperti dikatakan [Fazlur] Rahman, “memperlakukan al-Qur’an sebagai satu keseluruhan dan menformulasikan pandangan dunianya…” Konsekuensi dari kerja ini ialah perlunya pemeriksaan kembali seluruh isi syari’ah dengan mempertimbangkan bukti al-Qur’an. Inilah makna ijtihad yang sebenarnya. Dengan hanya berlindung di belakang slogan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” tanpa melakukan usaha yang serius, mendalam, dan sistematis, barangkali gerakan-gerakan modernis Islam tidak akan pernah menjamah inti persoalan yang sebenarnya. Dalam kasus Muhammadiyah… setelah terlibat dalam kegaitan-kegiatan yang tak mengenal lelah dalam menyebarkan gagasan-gagasan modernis, mereka tampaknya belum lagi berhasil merumuskan secara cerdas hakikat permasalahannya, seperti tersebut di atas…

… Selama periode pembentukannya, Muhammadiyah berhadapan dengan satu situasi dalam masyarakat di mana seorang Muslim sering benar ditakuti oleh ungkapan yang terlalu banyak mengandung haram. Misalnya, menuntut pengetahuan umum adalah haram; menerjemahkan al-Qur’an haram; menyampaikan khotbah dalam bahasa selain bahasa Arab terlarang, sekalipun jamaah, bahkan tidak mustahil sang khatib sendiri tidak mengerti bahasa Arab itu; dan lain-lain. Muhammadiyah tampil ke depan dan mengubah pandangan demikian, kadang-kadang dengan cara radikal dan serentak. Muhammadiyah juga mengenalkan apa yang disebut pengetahuan umum pada sekolah dan madrasah yang dibinanya; memelopori penyampaian dalam khotbah yang dapat dipahami oleh pendengar. Dalam kasus hari raya, Idul Fitri dan Idul QUrban, Muhammadiyah tidak merayakannya di masjid, tapi memelopori shala ‘ied di lapangan terbuka. Pada waktu cara-cara semacam ini sebai hal yang aneh.

Inovasi yang lain ialah bahwa Muhammadiyah adalah organisasi pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam kongresnya pada tahun 1923. Penggunaan bahasa Indonesia dalam suatu pertemuan umum pada waktu itu dapat mempunyai dampak politik karena lewat bahasa persatuan, kesatuan Indonesia semakin dirasakan. Bahasa Indonesia sebagai lingua franca baru dinyatakan secara resmi dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

…Sekalipun isu-isu di atas hanyalah menyentuh jenis ijtihad “pinggiran”, namun dampaknya cukup besar dirasakan oleh rakyat Indonesia. Isu itu sudah tentu mengandung sikap pro dan kontra, dan situasi ini sedikit banyak telah turut mencairkan cara berpikir ummat yang sudah lama membeku…

Selanjtunya, dalam wilayah pemikiran di luar jenis ijtihad “pinggiran” Muhammadiyah tampaknya belum berbuat banyak. Jadi mengenai inti masalah yang sedang dihadapi ummat Islam sekarang, sebagaimana telah disebut di muka, masih jauh dari penyelesaian…

Akan halnya lulusan sekolah Muhammadiyah yang berasal dari latar belakang ‘abangan’, situasinya mungkin sebagai berikut. Banyak di antara mereka memang telah mengalami transformasi mental dan mereka telah Muslim secara ideologis. Di samping itu juga banyak di antara mereka yang belum berubah secara mendasar. Islam bagi mereka barulah pakaian lahir, sedangkan batinnya masih melekat pada nilai-nilai tradisi latar belakangnya. Presiden Indonesia pertama, Soekarno, misalnya, adalah anggota Muhammadiyah sampai ajalnya… Dalam politik ia menganut paham pemisahan antara negara dan agama yang sebenarnya adalah sekularisme sejati. Bagaimana teologinya? Soekarno pernah menyebut dirinya sebagai panties-monoteis…

Kita kembalikan kajian kita kepada pendidikan Muhammadiyah. Fenomena sosiologis tersebut di atas adalah di antara indicator bahwa institusi pendidikan Muhammadiyah –yang pada mulanya diharapkan untuk menjadi alternative bagi system pendidikan pesantren—tampaknya tidak selalu berhasil dalam misinya. Salah satu alas an mengapa demikian ialah bahwa Muhammadiyah belum punya visi yang jelas tentang tipe manusia yang bagaimana yang hendak diciptakan oleh jaringan pendidikannya yang begitu luas…

Sunday, February 20, 2011

Een eeneiige tweeling. Sura 3:110 als inspiratiebron voor modernisten en fundamentalisten in de islam in Indonesië

Herman L. Beck

Beck, H. 1994. ‘Een eeneiige tweeling. Sura 3:110 als inspiratiebron voor modernisten en fundamentalisten in de islam in Indonesië’, in: H.L. Beck en K.-W. Merks: Fundamentalisme. Ethisch fundamentalisme in wereldgods-diensten. [Annalen van het Thijmgenootschap, jaargang 82, aflevering 3]. Ambo, Baarn [1994], pp. 88-104.

De islam in Indonesië kenmerkt zich van oudsher door zijn grote verscheidenheid, versnipperdheid en onderlinge tegenstellingen. Ook het verschijnsel dat aangeduid wordt met islamitisch fundamentalisme bestaat uit talrijke groeperingen en bewegingen die onderling sterk kunnen verschillen. Na 1985 echter – het jaar waarin de overhead alle politieke en maatschappellijke organisaties in Indonesië verplichtte de Pancasila-ideologie als basis van hun statuten te aanvaarden – kan het ideaal een islamitische staat onder leiding van de islamitische wet te stichten als een van de criteria worden gehanteerd om een islamitische beweging als fundamentalistisch te bestempelen. De actualiteit en het belang van het verschijnsel dat er steeds weer islamitische bewegingen in Indonesië opkomen die pleiten voor het vestige van een islamitische staat en de invoering van de islamitische wet, brachten mij ertoe om de vraag te stellen hoe modernistische moslims – in deze bijdrage gerepresenteerd door de Muhammadiyah-beweging- in dit land denken over een verschijnsel dat in het Westen wordt aangeduid met ‘islamitisch fundamentalisme’ (89-90).

Enn vergelijkende analyse van de interpretatie van sura 3:110 door islamitische modernisten en islamitische fundamentalisten maakt duidelijk dat de terugkeer tot de bronnen van de godsdienst tot aan elkaar tegengestelde posities in de contemporaine wereld kan leiden. Weliswaar deelde het hoofdbestuur van de Muhammadiyah-beweging mij – in antwoord op mijn vraag wat het van islamitisch fundamentalisme vond – mee dat het islamitisch fundamentalisme een aantal behartigenswaardige aangelegenheden voorstond, zoals het benadrukken van de terugkeer tot de bronnen van de islam, de zuivering van de godsdienst, het striven naar de stichting van een islamitische staat, het belang van de eenheid en solidariteit van de islamitische geloofsgemeenschap, de inspanning op het gebied van degeloofsverkondiging, de grote zorg voor de rituele plichten, de grote aandacht voor de ethiek, het verwerpen van hedonistisch materialism, toch meende het dat het islamitisch fundamentalisme ook grote gevaren met zich meebracht. In de Indonesische situatie zijn dat vooral het militante extremisme en het exclusivisme, waarmee de realiteit van het cultureel en religious pluralisme van de Indonesische samenleving wenselijker de Pancasila-ideologie te onderschrijven, dan actief te pogen de idealen van het islamitisch fundamentalisme te realiseren. Toch wil het hoofdbestuur van de Muhammadiyah in word noch geschrift een officiële veroordeling uitspreken ten opzichte van het islamitisch fundamentalisme, omdat het geen moslims van de islamitische geloofsgemeenschap wil uitsluiten (100-101).

Tuesday, February 15, 2011

Ke Arah Perumusan Filsafat Pendidikan Islam/Muhammadiyah

Ahmad Syafii Maarif

In Maarif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan: Sebuah refleksi sejarah. Bandung: Mizan. Pp. 229-231.

Muhammadiyah punya hak dan kewajiban untuk merumuskan filsafat pendidikan Islam berdasarkan pemahaman yang cerdas dan kreatif terhadap AL-Qur’an. Secara umum dapat saya kemukakan bahwa filsafat pendidikan yang dimaksud haruslah mampu mengawinkan antara tuntutan otak dan tuntutan hati. Tidak seperti yang berkembang dalam dunia modern sekarang. Barat terlalu sibuk dengan urusan otak dan teknik, sementara dunia Timur sebagian masih saja tenggelam dalam spiritualisme dan ilmu tenung. Dalam isyarat Al-Qur’an, system pendidikan yang mampu menyatukan kekuatan fikr dan dzikr yang ujungnya akan melahirkan kelompok ulu al-albab, sosok manusia yang otak dan jantungnya hidup secara dinamis-kreatif dalam memahami dan merasakan kehadiran Sumber segala yang ada dalam pengembangan dan pengembaraan intelektual dan spiritualnya (p. 229).

… Dunia modern yang bertumpu pada doktrin cogito ergo sum (saya tahu, oleh sebab itu saya ada) yang terlalu mengandalkan capaian otak, telah lama sepi dari kultur kearifan. Menurut Al-Qur’an, kelompok ulu al-albab adalah mereka yang sarat dengan muatan kebajikan dan kearifan itu…

Sejalan dan senapas dengan apa yang terurai di atas, dimensi penting lainnya yang harus menjadi muatan filsafat pendidikan Muhammadiyah ialah perlunya mempertegas hubungan segitiga antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesama…

Saturday, February 12, 2011

Mengkaji ulang Muhammadiyah sebagai organisasi Islam berorientasi pembaruan

M. Dawam Rahardjo
dalam Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaruan. Penyunting: Taufik Hidayat & Iqbal Hasanuddin. Jakarta: Paramadina & LSAF, 2010. pp. 2-16

Menurut bacaan yang saya peroleh, berdirinya Muhammadiyah itu dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran pembaruan. Yang pertama adalah pemikiran dari Muhammad Abdul Wahab—yang kemudian berkembang menjadi aliran Wahabisme—yang berorientasi kepada pemurnian ajaran-ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh budaya lokal, yang melahirkan TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat).

Kedua, Muhammadiyah, seperti dikatakan oleh Hamka, diilhami oleh pemikiran pembaruan Islam yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh, yang lebih menekankan modernisasi pemikiran dan pendidikan, terutama pada penerimaan terhadap ilmu pengetahuan Barat yang kemudian dikembangkan melalui jalur pendidikan. Sejak itu Muhammadiyah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang sangat luas. Ketiga, menurut catatan saya, sebetulnya Muhammadiyah itu berkembang bertolak dari pandangan teologis dari KH. Ahmad Dahlan sendiri, yaitu penafsiran dari surat Al-Ma’un yang mengandung masalah tanggung jawab sosial. Pandangan KH. Ahmad Dahlan mengenai tauhid, adalah Tauhid Sosial, meminjam Amin Rais, bermula dari seringnya beliau melakukan suatu pengajian tafsir yang membahas tidak lebih dari 17 ayat saja yang kesemuanya dipandang sentral berkaitan dengan tauhid.

Pembaruan teologi tauhid inilah inilah, yang menurut hemat saya berbeda dengan tauhid Wahabisme yang bersiofat fundamantalis-puritan. Dengan tauhios social, maka ajaran tauhid bisa menjadi suatu landasan moral, sebagaimana kedudukam Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang tgidak secara apriori menolak ajaran agama lain yang tidak bertentangan dengan hakekat tauhid yang mutni. Pambaharuan yang bertolak dari gagasan K.H. Ahmad Dahlan inilah menurut hemat saya harus menjadi jati diri gerakan Muhammadiyah, karena akan berjalan seiring dengan faham kebangsaan dan tradisi budaya local yang disikapi secara akrab oleh Nahdhatul Ulama (pp. 2-3).

NU dengan latar belakang pemikiran tradisional dan ortodoks yang berorientasi pada fiqh dan tasawuf, namun dalam kenyataannya sekarang telah menjadi kekuatan pendobrak dalam pembaruan di lingkungan Islam. Sementara Muhammadiyah sekarang ini berada di persimpangan jalan antara menjadi lembaga pembaru yang liberal atau lembaga yang konservatif, puritan dan fundamentalis (p. 13).

Perkembangan yang terjadi di Muhammadiyah ini menarik karena hal ini memang sudah pernah disinyalir oleh Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berhenti menjadi organisasi pembaharu, sedangkan rekannya yaitu NU justru telah mengalami pembaharuan, walaupun pada waktu tulisan itu dibuat atau diterbitkan, gerakan pembaharuan itu belum kentara, tetapi sekarang ini sudah makin kentara. Saya melihat bahwa NU berbeda jurusan dengan Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah sekarang meluncur ke arah konservatisme dan fundamentalisme, maka di NU, justru mengalami liberalisasi pemikiran dan lebih mencerminkan satu pemikiran Islam yang modern dan moderat serta bersatu dengan gerakan kebangsaan di Indonesia.

Muhammadiyah mengalami kemunduran lantaran sikap konservatisme dan fundamentalismenya. Hari depan Muhammadiyah dengan demikian adalah hari depan yang suram karena tidak lagi mewakili pemikiran yang moderat dan modern di Indonesia. Padahal semestinya, Muhammadiyah harus digantikan oleh anak-anak muda progresif, berpandangan liberal dan pluralis.

Muhammadiyah dewasa ini setengahnya masih hidup dalam paradigma jahiliyah tetapi jahiliyah modern—meminjam istilah Sayyid Qutub dengan makna yang lain. Amat sangat disayangkan, Muhammadiyah tidak punya nyali untuk melakukan pembaharuan sosial ini, karena disandera oleh anggota-anggotanya dan kader-kadernya sendiri yang telah menjadi komunitas konservatif tradisional (pp. 15-16).

Friday, February 11, 2011

Muhammadiyah, Antara Gerakan Progresif dan Konservatif

Endy M. Bayuni
Maarif, vol. 5, No. 1 – Juni 2010. Pp. 54-60

The most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution. (Revolusioner yang paling radikal akan menjadi konservatif sehari setelah revolusi selesai)
---Hannah Arendt---

Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah berhasil mengantar kaum Muslim Indonesia menjalankan perubahan yang dahsyat, dari masyarakat yang tradisional menjadi yang lebih modern, agraris menjadi industrial, pedesaan menjadi perkotaan, feodalistik menjadi lebih egaliter… apakah ppredikat “pembaruan” masih relevan bagi Muhammadiyah, mengingat transformasi kea rah masyarakat modern sudah berjalan cukup jauh, atau malah oleh beberapa kalangan dianggap sudah selesai.

Menggunakan kacamata sekarang, kita melihat semacam paradox yang dihadapi Muhammadiyah saat itu. Bagaimana sebuah gerakan yang mengemban misi pembaruan dan modernisasi masyarakat dapat melakukannya dengan kemasan niali dan ajaran agama yang lahir 13 abad sebelumnya. Paradoks ini mungkin tidak terlalu dirasakan di awal abad ke-20 ketika masyarakat masih hidup dengan nilai-nilai yang sangat tradisional…

Paradoks yang dihadapi Muhammadiyah lebih terasa di kemudian hari… Pada saat ancaman sekularisme semakin menjadi besar, organisasi masyarakat yang berdasarkan agama seperti Muhammadyah yang awalnya mengemban nilai progresif pun berubah menjadi kelompok konservatif, yang berusaha mempertahankan nilai-nilai, perilaku dan pandangan hidup masyarakat dari arus sekularisme yang sangat kuat.

Saturday, February 5, 2011

IMM, PTM dan Demokratisasi

Oleh: Pradana Boy ZTF*)
TAHUN 2011 ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) akan memasuki usianya yang ke-47. IMM lahir pada 14 Maret 1964, yang berarti dalam waktu tak lama lagi, akan memperingati hari kelahirannya. Jika diibaratkan manusia, usia itu adalah saat di mana manusia berangsur-angsur menggapai kematangan dan kemapanan hidup. Namun tidak demikian dengan IMM. Dalam usia yang telah dewasa itu, IMM seringkali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan eksistensi, kiprah dan sumbangsihnya dalam konteks pengkaderan di Muhammadiyah. Selain itu, dalam banyak hal IMM juga seringkali mengalami problem yang berhubungan dengan eksistensi kelembagaannya di perguruan tinggi-perguruan tinggi Muhammadiyah. Kenyataan itu telah membawa IMM kepada suatu situasi yang tidak gampang, bahkan IMM seringkali menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak tertentu di Muhammadiyah, khususnya pengelola PTM.
Kecurigaan terhadap IMM itu misalnya bisa dilihat dari pernyataan seorang mantan rektor sebuah PTM dalam sebuah buku yang bercerita tentang perjalan hidupnya. Ia menyatakan: “…Maunya yang mengelola… (nama sebuah PTM, penulis) kan anak-anak mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) saja. “Anak-anak IMM merasa jengkel, kok mereka tidak bisa menguasai… (nama sebuah PTM, penulis).” Lebih lanjut, kecurigaan itu bahkan dinyatakan dalam sebuah kalimat yang stigmatis: “…kalau IMM dibiarkan menguasai kampus (nama sebuah PTM), nanti akan dipakai gendurenan. (nama sebuah PTM, penulis) yang sudah dibesarkan dengan jerih payah dan kerja keras, akan jadi ajang keroyokan untuk dibagi-bagi demi kepentingan pribadi…” (2009: 121; 2006: 129-130).
Kecurigaan semacam itu telah menimbulkan rasa shock yang mendalam di kalangan aktivis IMM. Wajar belaka, karena secara kasat mata pernyataan semacam ini jauh dari kategori ilmiah dan akademis, dan lebih banyak didominasi oleh prasangka daripada fakta-fakta yang memadai. Memang harus diakui bahwa dalam beberapa situasi, kita sering menemukan fakta tentang bagaimana aktivis-aktivis IMM mengalami problem dalam mengartikulasikan aktivitasnya di sejumlah PTM. Terhadap kenyataan ini, tak jarang aktivis-aktivis IMM secara emosional meminta hak untuk diperhatikan sebagaimana yang seharusnya ia terima sebagai ortom Muhammadiyah. Di sinilah salah satu problem itu bermula. IMM membaca posisinya di PTM dalam kerangka hubungan Muhammadiyah sebagai organisasi induk dan IMM sebagai organisasi otonom. Sementara, tidak jarang para pengelola kampus (meskipun berlatar belakang Muhammadiyah tetapi dibesarkan dalam tradisi organisasi mahasiswa selain IMM ataupun mereka yang sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang hierarki pengkaderan di Muhammadiyah) menempatkan IMM sebagai organisasi ekstra kampus murni.
Akibatnya, terbentuklah pemahaman yang sama-sama ekstrem menyangkut posisi IMM di kampus-kampus PTM. Di satu sisi, IMM memang terkadang tidak cukup dewasa dan elegan dalam menempatkan dirinya, sementara para pengelola kampus itu memperlakukan IMM tidak sebagaimana mestinya. Wajarlah jika terjadi pengerasan sikap IMM terhadap sejumlah pengelola PTM di Indonesia. Sayangnya, alih-alih melihat pengerasan sikap IMM itu sebagai bentuk akibat dari tidak proporsionalnya perlakuan pimpinan PTM terhadap IMM, sikap itu justru digunakan sebagai amunisi untuk mendiskreditkan IMM di perguruan tinggi Muhammadiyah tertentu.
Persoalan menjadi semakin rumit, karena ketika sejumlah aktivis IMM itu telah lulus dan kemudian berkarier di sejumlah lembaga milik Muhammadiyah pun, terutama perguruan tinggi Muhammadiyah, stigma-stigma itu tetap dilekatkan. Dalam konteks hubungan dan dinamika yang rumit semacam inilah, maka akan muncul pernyataan-pernyataan bernada stigmatis bahkan stereotipikal terhadap aktivis dan alumni IMM, seperti dengan sangat sempurna ditunjukkan oleh pernyataan seorang mantan rektor di atas. Di antara stigma itu adalah bahwa hanya kader IMM yang memiliki pemahaman paling memadai tentang Muhammadiyah dan kemudian paling berhak mengelola amal usaha Muhammadiyah. Sayangnya, tidak jarang ada juga mantan aktivis IMM yang mengamini stigma-stigma itu dengan alasan-alasan yang sangat pragmatis; dan tentu saja jauh dari alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Ibaratnya, mereka menari dengan iringan musik yang diciptakan orang lain, meskipun musik itu tak enak didengar.
Di samping itu, sebagaimana difahami secara luas di Muhammadiyah, pengkaderan merupakan satu pilar paling penting dari organisasi ini. Dalam kaitan ini, kita sering mendapati perkataan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi kader. Implementasi dari adagium itu adalah dengan pendirian sejumlah organisasi otonom yang antara lain didasarkan pada usia dan jenis kelamin. Meskipun pengelompokkan organisasi otonom atas dasar seperti ini pernah dikritik oleh almarhum Profesor Kuntowijoyo, karena tidak mampu menyentuh kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat secara riil; tetapi tetap saja ada peran yang bisa dimainkan oleh organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah itu. Diakui atau tidak. Masih dalam kaitan ini, tokoh-tokoh dan pemimpin Muhammadiyah, tanpa melihat latar belakang keorganisasiannya semasa muda, harus berfungsi sebagai pengayom, payung, guru, orangtua bagi semua kader Muhammadiyah.
Dalam dunia politik, menyangkut politik kenegaraan dan kepartaian seringkali muncul perkataan: “Jika komitmen kebangsaan telah lahir, maka komitmen kepartaian harus berakhir.” Adagium ini tidak harus pula dimaknai secara literal, dalam arti bahwa komitmen kepartaian harus sama sekali dilupakan. Tetapi, pernyataan ini mengindikasikan sebuah nilai prioritas. Bahwa jika seorang politisi telah terikat dengan komitmen kebangsaan, misalnya dengan menjadi pemimpin negara atau pejabat publik, maka ia seharusnya lebih mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan partai. Sama persis dengan ibarat ini, maka seorang pemimpin Muhammadiyah harus berfikir tentang Muhammadiyah lebih dahulu dengan mengesampingkan latar belakang keorganisasiannya semasa muda. Sehingga cita-cita Muhammadiyah sebagai tenda besar bagi seluruh elemen bangsa bisa terwujud. Tetapi jika mental sektarian dan primordial yang berkecambah, maka sangat sulit membayangkan hal itu terjadi. Bagaimana mungkin menjadi tenda besar yang menaungi keragaman identitas, latar belakang dan kepentingan bagi semua elemen bangsa; sementara sentimen kelompok begitu mengemuka dan upaya rekonsiliasi perbedaan latar belakang keorganisasian sesama aktivis Muhammadiyah saja begitu sulit diwujudkan.
Lebih dari soal pengkaderan, dengan sangat menyesal harus dikatakan bahwa jangan-jangan contoh kasus di atas hanyalah puncak dari sebuah fenomena gunung es. Bahwa yang kelihatan di atas sepertinya kecil, tetapi sesungguhnya yang di dalam air, terpendam dan tidak nampak jauh lebih berlimpah dan besar volumenya. Artinya, apa yang dinyatakan oleh seorang mantan rektor sebuah PTM di atas adalah satu contoh dari problem serupa yang terjadi di berbagai PTM di Indonesia. Hanya saja karena pernyataan dan penilaian jujur sang mantan rektor terhadap IMM di sebuah PTM itu terungkap secara tertulis, maka dengan mudah diketahui oleh publik. Sementara terhadap peristiwa-peristiwa serupa, tetapi tidak terpublikasi, tentu saja tidak akan ada yang mengetahui, kecuali kelompok-kelompok terbatas dalam PTM-PTM bersangkutan. Jika memang demikian halnya, maka proses-proses regenerasi pimpinan, intelektual, ulama’ maupun posisi-posisi strategis dalam Muhammadiyah benar-benar berada pada masa yang tidak mudah.
Belakangan ini, kita sering sekali mendengar perbandingan antara dinamika gerakan intelektual di kalangan generasi muda Muhammadiyah dan NU. Sejumlah studi dan pengamatan sementara ini menempatkan NU pada dinamika yang cukup pesat. Sebaliknya, generasi muda Muhammadiyah cenderung mengalami stagnasi. Berbagai faktor diajukan untuk membaca situasi ini, dan banyak sudah yang kita dengar. Kini dengan mengetahui sample pernyataan seorang mantan rektor di atas, yang sangat mungkin juga dianut oleh tokoh Muhammadiyah lainnya; maka salah satu jawaban akan lambatnya dinamika generasi muda Muhammadiyah dalam merespon zaman, serta jauhnya jarak regenerasi di Muhammadiyah, adalah disebabkan oleh sikap-sikap tidak inklusif sejumlah tokoh Muhammadiyah, bahkan terhadap kader-kader Muhammadiyah sendiripun, hanya karena kebetulan dibesarkan dalam tradisi organisasi yang berbeda. Saya meyakini, inilah pula faktor yang menghambat akselerasi kaderisasi di Muhammadiyah secara umum dan di semua tingkatan.
Lebih jauh, kita juga bisa menghubungkan contoh kecurigaan sang mantan rektor tadi dengan demokratisasi di Muhammadiyah dan khususnya PTM. Peneliti Muhammadiyah asal Korea Selatan, Profesor Hyung-Jun Kim, menilai Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi keagamaan yang memiliki tradisi demokrasi sangat unik. Karena itu, jika dibawa ke wilayah yang lebih luas, nilai-nilai dasar demokrasi yang ada dalam Muhammadiyah itu akan menjadi elemen penting bagi proses demokratisasi di Indonesia secara umum. Di sini, sebenarnya kita bisa mengidentifikasi PTM sebagai salah satu pusat persemaian nilai-nilai demokrasi itu. Demokrasi sendiri memang begitu luas diperdebatkan. Tetapi nampaknya satu hal yang pasti dalam demokrasi adalah kesediaan menerima perbedaan identitas dan latar belakang dalam satu kesatuan komunitas yang diikat oleh mekanisme dan kesepakatan-kesepakatan tertentu dan mekanisme serta kesepakatan itulah yang menjadi hukum yang akan mengatur komunitas itu. Sayangnya, kita tidak bisa sepenuhnya dengan percaya diri mengklaim PTM sebagai salah satu media persemaian nilai-nilai demokratis itu, jika dalam kenyataannya terdapat kecurigaan-kecurigaan seperti yang dilontarkan oleh mantan seorang rektor sebuah PTM melalui kutipan penyataan di atas.
Jika menilik proses dinamika yang terjadi di sejumlah lembaga Muhammadiyah, utamanya menyangkut mekanisme pergeseran estafet kepemimpinan, Muhammadiyah memiliki tradisi yang bisa dibanggakan. Maka, agar dinamika demokrasi dalam Muhammadiyah itu tidak menyisakan ironi, sudah seharusnya, sekecil apapun potensi-potensi lahirnya hal-hal yang tidak demokratis harus dieliminasi. Nampaknya sulit bagi kita untuk menampik –dengan menilik, sekali lagi, pernyataan sang mantan rektor tadi—bahwa di samping sebagai lembaga persemaian ilmu dan intelektualisme, secara diam-diam kita juga melihat proses politisasi di perguruan tinggi Muhammadiyah. Ini tentu saja amat mengkhawatirkan, karena tidak hanya berpotensi memecah belah persatuan Muhammadiyah, tetapi juga akan menjadikan proses peningkatan kualitas PTM menjadi semakin berat. Akan sangat sulit bagi PTM untuk membangun daya saing yang kompetitif di tengah iklim persaingan yang demikian ketat, sementara kita justru terjebak dalam konflik internal yang salah satu akarnya adalah politisasi kampus itu.
Terakhir, tulisan ini hendaknya jangan dibaca sebagai bentuk kebencian kepada kritik terhadap IMM. Sebaliknya, semoga tulisan ini bisa menjadi refleksi bagi semua pihak untuk bertindak dan berucap secara proporsional. Sementara bagi IMM, kritik maupun stigma, betapapun pedasnya hendaknya menjadi sebuah momentum untuk membangun kembali daya kritis dan daya saing IMM, sehingga pada akhirnya kita bisa membuktikan bahwa jika suatu ketika kader IMM menduduki kedudukan-kedudukan penting bukan karena politisasi atau kronisme atau karena dasar like and dislike, melainkan benar-benar karena prestasi. Mari buktikan!
*) Kandidat doktor National University of Singapore (NUS). Mantan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.