Sunday, May 29, 2011

The ‘other’ Muhammadiyah movement: Singapore 1958–2008

Journal of Southeast Asian Studies

Research Article

Syed Muhd Khairudin Aljunied

Abstract

This paper provides a critical historical analysis of the Muhammadiyah movement in Singapore. I argue that four processes have been crucial in the emergence and sustenance of the Muhammadiyah within a predominantly non-Muslim society: the symbiotic relationship between the leaders and their followers, the formulation and subsequent reformulation of the ideology of the movement, political opportunities which were judiciously exploited and the availability of a wide array of infrastructures. The Muhammadiyah, as will be shown, provides an informative example of an Islamic movement in Southeast Asia that has transcended the challenges faced by the minority Muslim population by making effective use of the limited resources at its disposal.

Conclusion

‘The Muhammadiyah we see today is not the same as the Muhammadiyah in the 1950s. It is less interested in ideological struggles. Muhammadiyah has become a populist and socially oriented organization.’ This observation by one of the surviving founders of the movement summarises the major transformations that the movement has undergone during the first five decades of its existence. The preceding discussion has explained how four key processes ensured the formalisation, expansion and popularisation of the Muhammadiyah and the ways in which social, political and ideational developments shaped the evolution of the movement and its impact upon the Singaporean Muslim community. While the symbiotic relationship between the leaders and the rank and file ensured that links with other religious bodies could be forged, the maintenance of a close rapport among the members of the Muhammadiyah enabled the movement to withstand the threat of ideological fissures. Through a continuous reformulation of the movement's ideology, the Muhammadiyah adapted to the changing conditions on the ground. The movement also secured its place as a legitimate body in the eyes of political brokers, while obtaining much-needed backing from international donors through the exploitation of the relevant political opportunities that were open to them. The effective utilisation of different types of infrastructure provided avenues for recruitment and funding for activities, while the ideology of the Muhammadiyah was propagated through less obvious means.

....

Finally, this study has two larger implications that should be developed by future research. The first concerns the interface between socio-political developments and the role of ideas in the analysis of grassroots movements in post-war Singapore. All too often, studies of movements in this island city-state have been marked by the lack of an in-depth analysis of the ideas of the participants in these movements, and how these ideas influenced and shaped social life and politics in the country. There is a need to avoid the fallacies of past approaches, and this can be achieved by breaking down the boundaries between social, political and ideational histories. By developing such integrative methodologies, we can deepen and broaden our understanding not only of Islamic movements but also of other movements in Singapore and in Southeast Asia in general.

The second and final implication pertains to the study of Islamic activism in Southeast Asian countries where Muslims are minorities. There has been little research on this topic and it has been overwhelmed by studies concerning extremism and terrorism, many of which were written to inform state policy or to validate jaundiced views about Muslims globally. To the extent that political violence and social unrest are indeed some of the key problems of our time, this fact should not distract us from the urgent task of pioneering new methods and perspectives to further the study of the everyday struggles of minority Muslims in secular settings and their collective efforts to create an environment conducive to Islam.


Thursday, May 26, 2011

The Muhammadiyah Da'wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia

Studia Islamika, Volume 2, Number 2, 1995

Oleh. M. Din Syamsuddin

Abstraks. Perubahan dari Islam politik ke da'wah merupakan hasil introspeksi budaya, yang merupakan akibat dari hubungan tidak seimbang antara Islam dan negara: Islam berada pada posisi inferior sedangkan negara berada pada posisi superior. Posisi Islam ini dengan sendirinya membatasi keleluasaan gerak aktivitasnya untuk tampil secara terbuka. Sementara itu, superioritas negara sedikit banyak juga mendorong Islam untuk menampilkan diri melalui cara-cara yang lebih halus dan hati-hati. Ketimpangan ini kemudian melahirkan satu bentuk praktek politik lain: politik alokatif. Di sini aktivitas politik muncul sebagai upaya memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam proses pembangunan politik yang didasarkan pada ideologi hasil konsensus nasional: Pancasila. Dengan demikian, politik alokatif bisa berarti repolitisasi Islam dalam kerangka Pancasila.

Kecenderungan politik umat Islam seperti itu terlihat pada Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di daerah perkotaan Indonesia. Muhammadiyah telah menunjukkan prestasinya dalam politik alokatif ini. Ia telah berusaha mendorong terwujudnya implementasi nilai-nilai Islam ke dalam wilayah politik Indonesia. Ini dapat dilihat dari peran aktif Muhammadiyah dalam mewarnai sejumlah kebijakan yang diputuskan pemerintah dan DPR, seperti Rencana Undang-undang Perkawinan (RUUP), Rencana Pendidikan Nasional (RUUPN), Rencana Undang-undang Keormasan (RUUK), dan Rencana Undang-undang Peradilan Agama (RUUPA).

Meskipun demikian, Muhammadiyah masih dihadapkan pada sebuah dilema: posisinya tetap inferior di hadapan negara. Repolitisasi Islam yang ditempuh melalui model politik alokatif masih berada pada posisi pinggiran dari arena pengambilan keputusan. Ia belum mampu menunjukkan diri sebagai agen penting yang memiliki daya tawar yang menentukan. Posisi negara masih saja dominan; dan dapat dikatakan bahwa lembaga ini tetap menjadi kekuatan yang belum tertandingi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Akibatnya Muhammadiyah terperangkap dalam situasi yang sulit dihindari: harus menyerah pada kepentingan negara ketimbang menjadikan dirinya sebagai faktor independen dalam proses pengambilan keputusan.


Tuesday, May 17, 2011

Belajar dari Sejarah Ahmadiyah

Oleh Asvi Warman Adam*

Ahmadiyah bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Hampir seabad lalu gerakan itu sudah masuk ke tanah air dan selama berpuluh tahun tidak mengalami masalah dengan kelompok lain.

Mengapa sekarang dalam situasi ekonomi-politik yang kian panas menjelang Pemilu 2009 persoalan itu kembali diungkit? Ada baiknya kita menengok ke belakang, melihat proses masuknya Ahmadiyah ke Nusantara ini. Artikel ini terutama berdasar tulisan Herman L. Beck dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (2005: 210-246).

Ini bermula dengan kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Pandangan mereka terhadap Jesus, yang dalam Islam disebut Nabi Isa, menarik perhatian hadirin.

Bagi penganut Ahmadiyah, Jesus setelah disalib tidak meninggal, tiga hari kemudian sadar dan bertemu dengan murid-muridnya. Dia kemudian pergi ke Srinagar, Kashmir, dan mengembangkan ajarannya di sana hingga meninggal pada usia 120 tahun.

Karena Jesus itu hanya manusia biasa, messias atau Al Masih yang disebutnya akan datang ke bumi tak lain dari Mirza Ghulam Ahmad. Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, dia dianggap mujadid (pembaru). Sedangkan aliran Qadiyan memosisikan dia sebagai nabi.

Ahmadiyah juga memiliki pandangan yang khas tentang jihad. Bagi mereka, jihad bersenjata memerangi musuh (orang kafir) tidaklah wajib, kecuali untuk mempertahankan diri. Kelompok itu sebetulnya juga tidak tergolong ekstrem karena bersikap loyal kepada pemerintah yang berkuasa.

Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926.

Tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.

Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah, bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.

Polemik Panjang
Seperti kita ketahui, polemik panjang mengenai ajaran Islam juga terjadi antara A. Hassan dan Soekarno. Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Djojosoegito kemudian memindahkan kegiatannya ke Purwokerto dan di kota ini didirikan masjid pertama Ahmadiyah di Indonesia. Hubungan antara Ahmadiyah dan SI (Sarekat Islam) pada mulanya cukup erat.

Pemimpin SI, HOS Tjokroaminoto, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930. Kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, dukungan diberikan pimpinan Ahmadiyah.

Namun, hubungan Ahmadiyah dengan SI kemudian menjadi renggang karena sikap politik SI yang radikal terhadap penjajah Belanda. Sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada pemerintah. HOS Tjokroaminoto yang menjadi mertua Soekarno, menurut KH Abdurrahman Wahid, sebetulnya juga saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah.

Kalau benar demikian, sebenarnya tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, SI, dan Ahmadiyah tersebut berasal dari rumpun keluarga yang sama. Kalau terjadi selisih paham sesama mereka, itu menjadi pertengkaran intern keluarga yang tidak akan menjadi konflik berdarah.

Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, ayahanda HAMKA, mengunjungi putrinya, Fatimah, yang menikah dengan A.R. Sutan Mansyur, pimpinan Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan, dia singgah di Jogja dan Solo serta bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Terjadilah perdebatan seru. Haji Rasul mengatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah itu menyimpang dari ajaran Islam.

Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, hubungan antara organisasi itu dan Ahmadiyah menjadi putus. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir, walaupun tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah. Sebelumnya sudah ada larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mendengarkan ceramah tentang ajaran Ahmadiyah.

Setelah 1929, Muhammadiyah sangat jarang mengeluarkan pernyataan yang memojokkan Ahmadiyah aliran Lahore. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 1984, Muhammadiyah mendukung dan menganggap bahwa itu terutama menyangkut Ahmadiyah aliran Qadiyan.

Tak Berbahaya
Mengapa Muhammadiyah masih bersikap toleran terhadap Ahmadiyah aliran Lahore? Menurut Herman Beck, itu terjadi karena organisasi tersebut dianggap tidak berbahaya serta bukan kompetitor dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan. Itulah sebabnya, selama puluhan tahun, Ahmadiyah tetap hidup berdampingan secara damai dengan Muhammadiyah dan organisasi Islam yang lain.

Menjadi pertanyaan saat bangsa Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, kesejahteraan rakyat tak kunjung terwujud, masyarakat didera kemiskinan, mengapa persoalan Ahmadiyah yang muncul ke permukaan? Untuk apa dan siapa yang menggerakkan semua ini?

Kalau diperhatikan, sejarah lahirnya organisasi-organisasi muslim di tanah air terlihat bahwa pendiri dan pengurus awal berbagai organisasi Islam itu sesungguhnya bersaudara. Oleh karena itu, sebaiknya masalah Ahmadiyah ini diselesaikan secara persaudaraan pula.[]

*Dr Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta.

(Indo Pos, Kamis, April 24, 2008)

Tuesday, May 10, 2011

Agama Sebagai Konsep Kognitif 2

Republika, Selasa, 09 Desember 2003

Agama Sebagai Konsep Kognitif
Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh Kuntowijoyo

Meskipun konsep normatif lebih menguntungkan, karena bisa ditafsirkan sesuai zaman penafsir, orang yang tak belajar konteks sejarah pada zaman konsep itu turun, konteks sejarah di masa lalu, dan konteks sosial-budaya masa kini, akan kesulitan dengan penerapannya dalam masyarakat. Taruhlah konsep tentang dhu'afa dan mustadh'afun. Siapa mereka? Fakir-miskin, yatim piatu, nelayan, petani, buruh-tani, dan buruh? Siapa yang lemah dan dilemahkan?

Mari kita ambil contoh lain, konsep mar-ah (perempuan) dalam fikih tradisional. Konsep gender (definisi femininitas dan maskulinitas ditentukan oleh konteks sosial-budaya) tentu saja tak dikenal pada abad ke-7, dan penafsirlah yang harus bekerja. Berkat penafsiran baru atas konsep mar-ah, sekarang kita sadar bahwa penafsiran lama tentang penghambaan isteri pada suami, wanita yang bengkok tak terluruskan seperti iga, perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, dan lain-lain, adalah penafsiran orang dan bukan konsep Islam yang sebenarnya. Tetapi, mereka yang tidak melihat konteks sosial-budaya waktu ajaran itu dikukuhkan dan konteks sejarah pemikiran tentang lelaki-perempuan tidak akan dapat melihat kenyataan sosio-kultural yang aktual di negeri ini. Mereka tak akan dapat mengapresiasi gerakan feminisme Islam. Pendek kata, belajar konsep-konsep normatif (tekstual) saja tidak cukup, kita pun harus belajar tentang kontekstualitasnya. Harapan kita ialah supaya generasi muda memberikan penafsiran
kontekstual dan aktual pada konsep-konsep normatif itu.

Konsep normatif dan kepribadian Islam
Kepribadian Islam. Ada dua cara untuk menjaga supaya penafsiran konsep-konsep normatif tetap berkepribadian Islam sementara kita mengalami serbuan konsep-konsep non-Islam, yaitu Islamisasi pengetahuan dan pengilmuan Islam. Pertama, islamisasi pengetahuan. Gerakan intelektual yang dimulai sejak 1982 melalui berbagai konferensi (konferesi pertama di Islamabad, salah satunya di Jakarta) ini memuncak dengan adanya The American Journal of Islamic Social Sciences (USA), The International Institute of Islamic Thought (USA), dan International Islamic University (Malaysia) pada akhir 1980-an.

Oleh karena itu, generasi muda dapat mencontoh gerakan intelektual ini, yaitu mengembalikan pengetahuan yang sangat aneh sekalipun kepada Islam. Ukuran tertinggi yang dipakai dalam Islamisasi pengetahuan ialah konsep normatif Islam. Islamisasi pengetahuan mengandaikan bahwa ada khazanah ilmu non-Islam, lalu body of knowledge itu diberi kerangka Islam. Misalnya, "Islamisasi Antropologi", "Islamisasi Seni-Visual", dan "Paradigma Ilmu Politik: Perspektif Islam". Jadi sudah ada konteks, lalu dikembalikan ke teks. Islamisasi pengetahuan
adalah gerakan dari konteks menuju ke teks (konteks --> teks).

Kedua, pengilmuan Islam. Dalam perkembangannya, islamisasi pengetahuan dan pengilmuan Islam membaur, sekalipun sebenarnya prinsip keduanya pada mulanya berbeda. Pengilmuan Islam bermula dari teks, jadi pengilmuan Islam adalah gerakan intelelektual untuk memberi konteks pada teks. Jelasnya, konsep-konsep Islam dihadapkan kepada realitas, sehingga konsep-konsep itu memaknai realitas. Pengilmuan Islam adalah gerakan dari teks menuju konteks (teks --> konteks).

Kembali kepada Alquran dan sunah. Baik islamisasi pengetahuan maupun pengilmuan Islam adalah ar-rujuu' ilaa al-Qur'aan wa as-Sunnah. Dahulu ungkapan "kembali kepada Alquran dan sunah" dari Muhammadiyah --yang secara populer diterjemahkan jadi pemberantasan penyakit TBC (taqlid, bid'ah, churafat) -- menyinggung hati orang-orang NU ("mosok NU dibilang kena penyakit TBC"), dan kemudian "konflik" itu didamaikan dengan istilah khilafiyah. Sekarang "kembali kepada Alquran dan sunah" dapat menjadi battle cry bersama. Islamisasi pengetahuan dan pengilmuan Islam dapat memberi substansi baru pada gerakan "kembali pada Alquran dan hadis", dan ajang baru kolaborasi NU-Muhammadiyah.

Penutup
Artikel ini bermaksud untuk "saling berwasiat" pada generasi muda NU dan Muhammadiyah, agar mereka berpikir keras supaya umat secara keseluruhan tidak kehilangan identitas. Itu jauh lebih bermanfaat daripada membuat "kejutan" berupa "pemberontakan". Umat sudah lelah dan frustrasi menghadapi sekularisasi dan hedonisme (ingat perusakan tempat-tempat "maksiat") di dalam negeri serta tudingan sebagai teroris (Alqaidah, JI) dari luar negeri. Maka, generasi muda,
tolonglah, jangan berkenes-kenes dengan pikiran-pikiran aneh. Sebagai perbandingan konsep-konsep non-Islam memang diperlukan, tapi hanya jadi pengetahuan bantu dan jangan sampai menggantikan konsep Islam. Tulisan-tulisan tentang Islam (baik dari orang Islam maupun non-Islam) selama hanya menyangkut deskripsi semuanya baik-baik saja, tetapi kalau sudah soal judgment perlu diwaspadai.

Ada baiknya kalau generasi muda mempergunakan kecerdasan untuk memberikan konteks dari konsep-konsep normatif Islam. Misalnya, untuk generasi muda NU lebih baik memberikan konteks bagi konsep pendidikan Islam daripada berpikir tentang "konsep pendidikan Paulo Freire". Lebih bermanfaat untuk berkeringat bersama sapi di ladang jagung Madura dan berpikir ke arah pesantren industri manjelang industrialisasi. Seperti diberitakan Jembatan Suramadu akan segera dibuka, dan itu berarti industrialisasi tepat di jantung umat Islam, Madura. Bagi intelektual muda Muhammadiyah: Apakah konsep keluarga sakinah dapat diperluas pengertiannya menjadi jamaah sakinah? Jika demikian pasti tidak ada rasa teralienasi (terkucilkan) bagi kaum dhuafa. Itulah salah satu arti dari doa sehari-hari, Rabbanaa aatinaa.
...

Jadi artikel ini mengusulkan bagaimana kalau intelektual muda NU Menggagas Pesantren Industri. (Di lingkungan Katholik ada semacam "pesantren" industri di Solo, di Bogor ada pesantren pertanian, dan pada 1970/1980-an banyak pesantren mengusahakan ternak ayam, sehingga kiai secara berkelakar disebut sebagai sayyidul ayam -- plesetan dari kata sayyidul ayyam, pemimpin hari-hari, hari Jumat). Dan bagaimana kalau JIMM melangkah lebih jauh dari bapak-ibunya dalam dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan Menggagas Jamaah Sakinah. Untuk bentuk solidaritas sosial terkecil dari umat (jaminan rasa aman sosial-ekonomi di luar satuan keluarga dan extended family) itu kita dapat belajar bahkan dari konsep yang berasal dari "musuh-musuh" Islam seperti "kibbutz" (Yahudi, pertanian kolektif) dan "commune" (Komunis, masyarakat kecil, terorganisir ketat secara kolektif); serta desa tradisional (Jawa, komunitas kecil berasas gotong-royong, closed corporate community). Konsep jamaah tidak boleh hanya berhenti pada "jamaah shalat", tetapi harus berkembang jadi "jamaah sosial-ekonomi".

Akhirnya kita percaya bahwa "sawan kekanak-kanakan" generasi muda itu hanya gejala sementara, dan orang-orang muda akan terserap kembali kepada mainstream. Allahu a'lam bi as-shawaab.

Kuntowijoyo
Pengamat Sosial-Budaya

Monday, May 9, 2011

Agama Sebagai Konsep Kognitif

Republika, Senin, 08 Desember 2003

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Oleh Kuntowijoyo
Pengamat Sosial-Budaya

Tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab generasi muda pada banyak ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, menunjukkan gejala positif. Ada serangkaian pertemuan oleh generasi muda NU (sejauh ini kita belum tahu namanya) dan ada JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Gejala positif itu perlu disambut dengan penuh harapan, karena berarti ada kesinambungan sejarah. Akan tetapi, orang-orang yang lebih dewasa dengan jam terbang lebih banyak dalam pergumulan keagamaan perlu siap-siap dengan "saling berwasiat untuk tetap dalam kebenaran" --diminta atau tidak -- agar mereka tidak kebablasan. Sebab, setiap ada "pemberontakan" mestilah timbul gejala "sawan kekanak-kanakan" -- meminjam istilah Lenin -- yang berupa cara berpikir "kekanan-kananan" (sok liberal) atau "kekiri-kirian" (sok radikal). Coba simak apa yang sedang mereka pikirkan: "Islam kiri", "Islam liberal", "Islam proletar", "Islam borjuis", "konsep pendidikan Paulo Freire", dan entah apalagi.

Berkat kemudahan-kemudahan dalam penerbitan, kebanyakan pikiran-pikiran yang thrilling (menggetarkan) itu tersebar. Kita berharap jangan sampai generasi muda itu terjebak ke dalam ideolatry (pemujaan gagasan), sebab menurut Erich Fromm 'siapa yang menolak otoritas Tuhan, akan terpaksa menerima otoritas lain'. Tidak ada orang waras yang merdeka seratus persen. Oleh karena itu, "saling berwasiat" dibutuhkan untuk menjaga supaya mereka yang potensial itu tetap memakai ukuran-ukuran agama, dan tidak memakai parameter yang lain. Jangan sampai mereka tidak sadar akan apa yang sedang mereka kerjakan, dan terpeleset ke dalam konsep non-Islam atau bahkan anti-Islam.

Konsep dan peran kognitifnya
Seperti diketahui konsep-konsep menentukan cara pandang dan cara pikir. Kita tahu dari sosiologi pengetahuan dan ilmu budaya bahwa orang melihat realitas itu tidak pernah secara langsung, tapi melalui tabir berupa simbol-simbol (konsep, kata, budaya) yang dimiliki. Demikianlah, orang Islam akan melihat realitas melalui simbol berupa konsep Islam, orang non-Islam memakai konsep non-Islam, misalnya dari isme-isme lain. Isme-isme lain itu ialah ideologi, filsafat, dan aliran ilmu. Ideologi (seperti nasionalisme, liberalisme, demokrasi, marxisme, sosialisme, dan komunisme), filsafat (seperti positivisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan neo-konservatisme), dan aliran ilmu (seperti darwinisme, freudianisme, dan behaviorisme). Mereka juga menyediakan konsep-konsep untuk memahami realitas.

Bagi orang Islam konsep-konsep lain itu bisa menyesatkan, tapi sebaliknya juga dapat membantu. Orang Islam dapat belajar bagaimana mereka melihat realitas. Orang Islam yang tidak pernah belajar marxisme ("sejarah terdiri dari kelas penindas dan kelas tertindas") tidak tahu adanya kemiskinan struktural dalam masyarakat. Mereka yang tidak sadar akan positivisme ("puncak perkembangan kemanusiaan ialah pikiran manusia") tidak akan mewaspadai adanya gejala yang mengagungkan pikiran manusia. Mereka yang tidak belajar freudianisme ("agama adalah ilusi yang harus diberantas") tidak akan menyadari adanya praktik keagamaan yang membelenggu manusia dan bukannya membebaskan.

Tetapi, orang Islam yang kaffah tidak akan menganggap konsep-konsep non-Islam itu sebagai nilai kebenaran tertinggi yang menentukan, hanya sebagai pendamping agama untuk memahami realitas. Berdasarkan konsep kognitifnya, seorang Muslim yang kaffah tidak bisa mengatakan, "Sebagai pribadi agama saya Islam, tetapi sebagai politisi saya penganut sekularisme, sebagai anggota parlemen saya menganut demokrasi, sebagai pedagang saya menganut pragmatisme, dan sebagai orang LSM saya penganut marxisme". Agama hanya dipandang dari aspek ritual, bukan sebagai identitas diri yang utuh. Karenanya, kita perlu mengintegrasikan kekayaan khazanah pemikiran kemanusiaan --bahkan yang sangat anti-agama -- dengan agama. Akan tetapi, bila terjadi perbenturan nilai antara keduanya, kita harus memilih agama. Sebenarnya, adanya perbenturan nilai itu akan sangat jarang terjadi dalam masalah keduniaan. Kita ingat kaidah, "Dalam urusan ibadah, semua dilarang kecuali yang diperbolehkan. Dalam urusan muamalah, semua diperbolehkan kecuali yang dilarang".

Konsep normatif dan kontekstualitas
Konsep-konsep dalam Alquran itu abadi (dalam waktu) dan universal (dalam tempat), artinya tidak merujuk pada sistem sosial tertentu: masyarakat pra-industrial, masyarakat industrial, atau masyarakat pasca-industrial. Sementara itu ideologi-ideologi selalu merujuk ke sistem sosial tertentu. Marxisme (Ortodoks), misalnya, sebenarnya semula diperuntukkan bagi masyarakat industrial (kemudian oleh Mao Zedong diterapkan pada msyarakat agraris-praindustrial). Manifesto Komunis (1848) dengan jelas menyebut-nyebut kaum proletar sebagai
andalan perjuangan, "Marxisme adalah senjata ideologis kaum proletar". Buruh melawan kapitalis, proletar melawan borjuis, dalam suatu "kontradiksi yang tak terdamaikan". Lihat! Dengan jelas marxisme merujuk pada kelas-kelas sosial pada masyarakat industrial, buruh dan kapitalis, proletar dan borjuis. Apakah ideologi abad ke-19 untuk masyarakat industrial itu masih cocok untuk masyarakat pascaindustrial? Untuk masyarakat rasional -- masyarakat yang
dikelola dengan manajemen rasional? Untuk masyarakat abstrak -- masyarakat yang diatur oleh sistem? Tidak, marxisme sebenarnya sudah terbukti salah sebelum secara resmi Uni Soviet membubarkan diri pada 1989. Sosiologi industri mengajarkan bahwa menjadi buruh di pabrik-pabrik dalam sistem kapitalis dan sistem komunis itu sama saja: disiplin, spesialisasi, hierarki dalam pabrik, dan perbedaan skala gaji. Fungsionaris partai dalam sistem komunis sama saja dengan para pemilik modal dalam sistem kapitalis. Selanjutnya, kita juga belajar bahwa pabrik-pabrik dalam sistem kapitalis dan sistem komunis itu sama saja: keduanya adalah perusak lingkungan. Itulah sebabnya kini di Eropa berdiri banyak Partai Hijau. Orang lalu berpendapat bahwa ideologi-ideologi tidak ada gunanya, the end of ideology, berakhirnya ideologi.

Maka, kita justeru perlu konsep-kosep normatif yang tidak merujuk ke suatu zaman dan masyarakat tertentu, yang "tak lekang di panas, tak lapuk di hujan". Ambillah contoh konsep normatif zhalim. Zhalim bisa dikenakan sistem (seperti absolutisme, diktatorisme, otoritarianisme), institusi (seperti zionisme, fasisme), perilaku sosial (seperti perang yang merusak aset-aset produktif, pembagian kemakmuran yang timpang), orang (seperti Fir'aun, Mussolini, pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan semata, dan pejabat yang karena
korupsinya membuat sengsara rakyat), dan bahkan diri sendiri (bertapa dalam kubur selama sekian hari, ngebleng [tidak makan selama sekian hari]). Selanjutnya, konsep-konsep normatif, seperti amanah, rizq, 'adl, fasiq, riba, dan syura, dapat kita baca pada buku M Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996). Dalam buku itu akan kita lihat konteks sosial-budaya turunnya ayat (ashbabun-nuzul), konteks sejarah masa lalu, dan konteks masa kini.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=147128&kat_id=16

Tuesday, May 3, 2011

Muhammadiyah sebagai Tenda Kultural

Abdurrahman, Moeslim. 2003. "Ber-Islam secara kultural: Sebuah pengantar." in Moeslim Abdurrahman (ed.). Muhammadiyah sebagai tenda kultural. Kebayoran Baru, Jakarta: Ideo Press.pp. v- xvi.

Yang menjadi pertanyaan mendasar ialah, apakah pengertian dakwah cultural memang mempunyai landasan teologis baru yang secara inklusif memberikan pengakuan “ke-Islam-an” bagi mereka yang selama ini mengungkapkan “taqorrub” nya kepada Allah SWT lewat ekspresi kelas social dan ikatan-ikatan sub-kultur itu? Ataukan, Muhammadiyah sesungguhnya masih tetap memegang khittah ortodoksinya, dan sekedar membuka strategi dan taktik baru (yang dulu menjauhi bid`ah, takhayul dan khurafat) sekarang akan merangkul mereka agar melalui pendekatan cultural yang lebih toleran, pelan-pelan mereka diharapkan mau bergabung dengan sub-kultur Islam murni yang puritan-kota ini?

Dalam dua buku yang diterbitkan oleh Muhammadiyah University Press Surakarta (2003), yang berjudl: “Agama dan Pluralitas Budaya Lokal” dan “Sinergi Agama & Budaya Lokal” “Sinergi Agama & Budaya Lokal” yang merupakan hasil dari halaqah tarjih, sebagai forum intelektual untuk merumuskan strategi kebudayaan dan visi seni Muhammadiyah, misalnya Nampak berbagai pandangan dan sikap yang dihimpun di dalamnya tercermin sekali bahwa di kalangan elitnya masih terjadi polarisasi yang kuat antara: yang memandang “dakwah” sebagai upaya melakukan ortodoksi dan mereka yang “toleran” melihat keragaman ekspresi Islam.

Namun demikian, tetap saja pikiran-pikiran dan sikap terhadap budaya dan seni local itu (apapun tolerannya) masih didominasi oleh motif yang bersifat strategis dan taktis (misalnya supaya kaum bawah dan orang “ndeso” tidak takut Muhammadiyah. Atau pikiran, bagaimana menciptakan lebih banyak produk “seni” dan budaya yang bernafaskan Islam(misalnya keinginan jangan hanya dakwah “meng-Islam-kan budaya” tapi juga lebih banyak tumbuh kreasi “membudayakan Islam”). Memang, dibandingkan yang berpikir eksklusif ada diantara penulis ini muncul sikap yang tampaknya inklusif (dengan disertai banyak juga catatan) terhadap keragaman seni dan budaya lokal, namun sesungguhnya kalau dibaca secara mendasar masih saja tidak muncul sikap teologis yang tegas bahwa “ke-Muhammadiyahan” yang baru adalah meliputi kesadaran untuk mengakui dan menghormati seni dan budaya sebagai kekayaan peradaban, tanpa harus dibebani atau merasa dibebani dengan kepentingan dakwah (baca: bagaimana lewat seni mengajak “mereka” menjadi Islamnya seperti “kita” dengan standar Muhammadiyah). Sehingga seni akan tetap menjadi seni, selama seni itu tidak menjadi tontonan yang mempertunjukkan degradasi moralitas kemanusiaan.

Menurut saya, “dosa” gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya local. Tapi, yang lebih parah, kalau seperti Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ternyata menjadi jumud, karena tidak mampu memperbaharui kesadaran islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai bahwa dakwah bukanlah identik dengan propaganda iman. Melainkan, dakwah sesuangguhnya adalah setiap kerja religious untuk peradaban dan kemanusiaan.

...

Monday, May 2, 2011

Muhammadiyah and the Modernization of Indonesian Women

Baried, Baroroh. 1986. "Islam and the Modernization of Indonesian Women." in Taufik Abdullah and Sharon Siddique. Islam and Society in Southeast Asia. Singapore: ISEAS. pp. 139-154.

... Aisyiyah was one of seven women’s organizations which exercised the initiative to hold the first Indonesian Women’s Congress in 1928, when the Aisyiyah representatives was chosen as a vice-chairman. Its task within the Muhammadiyah was to help women to fully understand what is meant by the injunction to practice Islam as a way of life. Women were to be educated for the purposes of carrying out such religious duties as performing the five daily prayers, fasting, paying the religious tax (zakat) and going on the pilgrimage. Women must understand virtue and why they are not justified to commit adultery, to cheat, to tell lies, and so forth. Muhammadiyah invited Aisyiyah to guide Muslim women to purify their faith in God, using the Holy Qur’an and the Hadis (Traditions of the Prophet) (p. 147).
Aisyiyah stresses that in the modernization process, Indonesian Muslim women must be responsible for the welfare of their families as well as the welfare of the community. Achieving this requires that women to work together in women’s organizations. Aisyiyah’s activities in the fields of religious teachings, education, social welfare, and economics demonstrate that Indonesian Muslim women are able to work together for their mutual benefit. To accomplish this task they must sometimes leave their homes and families, and devote themselves to community service. Such organizations as Aisyiyah are contributing to the modernization of the Indonesian women (p. 153).