Sunday, December 18, 2011

Ormas Islam dan usaha kesejahteraan sosial: Pendidikan dan perlindungan anak di lingkungan Muhammadiyah

Fuaida, Lisma Dyawati. 2006. Ormas Islam dan usaha kesejahteraan sosial: Pendidikan dan perlindungan anak di lingkungan Muhammadiyah. In Bunga rampai Islam dan kesejahteraan sosial, ed. Kusmana, 161-78. Jakarta: PIC UIN Jakarta.

Abstrak
Pemakalah mendiskusikan salah satu contoh peran institusi agama Islam, Muhammadiyah, dalam usaha kesejahteraan sosial dalam hal pendidikan dan perlindungan anak di Indonesia di lihat dari sisi kebijakan lembaga. Secara normatif makalah ini menegaskan bahwa telah ada usaha yang dilakukan oleh organisasi massa Islam di Indonesia. Secara khusus, Muhammadiyah yang menjadi fokus pembahasan, ditegaskan telah memiki peran yang cukup penting baik dalam bidang pendidikan maupun usaha kesejahteraan sosial, termasuk di dalamnya usaha perlindungan anak.

Kesimpulan
...
Di negara yang mayoritas penduduknya agama Islam seperti di Indonesia ini dengan masalah kemiskinan yang belum teratasi dan sederet kasus-kasus naas yang menimpa kehidupan anak-anak, kekuatan Islam sangat dituntut dalam upaya perlindungan anak, tentu saja tidak selalu dalam makna eksklusif hanya untuk umat Islam saja akan tetapi juga seluruh anak Indonesia umumnya. Di sini, kepekaan ormas Islam dalam merespon hal tersebut termanifestasi dalam struktur atau institusi dan kebijakannya yang sensitif akan hak-hak anak. Terdapatnya Pembina Kesejahteraan Sosial (PKS) `Aisyiyah dan Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM) Muhammadiyah serta Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) sekedar contoh yang mencerminkan bahwa ormas-ormas tersebut sudah memberikan wadah yang luas untuk melakukan program-program perlindungan dan pelayanan terhadap anak. Perlindungan terhadap anak 1) dari keadaan darurat atau keadaan yang membahayakan; 2) dari kesewenang-wenangan hukum; 3) dari eksploitasi, termasuk tindak kekerasan (abuse) dan penelantaran; dan 4) dari diskriminasi, telah dilakukan oleh, misalnya, Muhammadiyah dan `Aisyiyah melalui pelayanan dan bantuan yang diberika melalui panti-panti asuhan untuk anak yatim, yatim-piatu dan terlantar; rumah singgah untuk anak-anak jalanan; pelayanan anak jalanan berbasis keluarga (rumah) untuk anak-anak jalanan yang memiliki keluarga; dan pusat-pusat anak (children center) untuk anak korban bencana alam.
...

Saturday, December 17, 2011

Tantangan Muhammadiyah di Abad Kedua

Judul : Muhammadiyah Abad Kedua
Penulis : DR. Haedar Nashir
Penerbit: Suara Muhammadiyah, Jogjakarta
Terbit : 2011
Tebal : xii + 300 Halaman

Jawa Pos, "Buku", Minggu, 20 November 2011

Pembaruan gelombang kedua menjadi keniscayaan bagi Muhammadiyah. Perlu transformasi strategi dakwah dan tajdid agar lebih memiliki kekayaan pemikiran dan model-model praksis yang bersifat alternatif.

Muhammadiyah memasuki usia satu abad. Muhammadiyah sebenarnya baru berusia satu abad dalam hitungan tahun Miladiyah yang akan jatuh pada 18 November 2012. Sedangkan manakala dihitung dalam tahun Hijriyah telah jatuh pada 8 Dzulhijjah 1430 tahun lalu. Namun, Pimpinan Pusat telah mengambil kebijakan menetapkan Muktamar ke-46 di Yogyakarta tahun 2010 pada tanggal 3- 8 Juli (22-27 Rajab 1431 H) sebagai Muktamar Satu Abad.

Hal itu didasarkan atas pertimbangan betapa tidak mudah mencari titik temu waktu yang tepat antara tahun kelahiran dengan menggunakan dua kalender dan ketepatan pelaksanaan Muktamar, sehingga diambil jalan tengah atau kebijakan organisasi seperti itu.

Muhammadiyah pasca-Muktamar ke-46 berada dalam pusaran dinamika kehidupan bangsa dan dunia global yang penuh masalah, tantangan, dan tarik-menarik yang kompleks di seluruh bidang kehidupan. Muhammadiyah tentu akan banyak mengalami situasi baru yang tidak sama dan jauh lebih kompleks ketimbang masa sebelumnya.

Tantangan bagi Muhammadiyah ialah bagaimana seharusnya melangkah dalam melintasi zaman menuju abad kedua yang penuh dengan dinamika baru yang sangat kompleks. Melangkah dengan pandangan dan strategi yang lebih tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam mewujudkan visi dan tujuannya, baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang, maupun tujuan ideal yakni terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Buku yang ditulis oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengurai kerumitan dan tantangan Muhammadiyah tersebut. Haedar Nashir sebagai “orang dalam” Muhammadiyah mempunyai cara pandang yang unik dalam menjawab tantangan zaman abad kedua.

Postmodernisme
Dalam pandangan Doktor Sosiologi Universitas Gadjah Mada ini Muhammadiyah pada abad kedua perjalanannya menghadapi zaman baru kehidupan pasca-modern (postmodernisme). Kehidupan modern tahap lanjut tersebut sara dengan perkembangan dan perubahan yang spektakuler di berbagai bidang, yang berada di pusaran dinamika globalisasi yang membawa ideologi kapitalisme dan neoloiberalisme global yang masuk ke seluruh relung kehidupan bangsa-bangsa.

Sementara Muhammadiyah dengan cita-cita Islam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan mendirikan Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang memerlukan transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya di berbagai bidang kehidupan. Di sinilah pentingnya aktualisasi ideologi modernisme-reformisme Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang secara niscaya diperlukan Muhammadiyah dalam memasuki abad baru yang penuh tantangan tersebut.

Muhammadiyah memiliki potensi dan modal dasar yang kuat untuk memasuki abad kedua dengan gerakan pencerahan. Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta kehidupan.

Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, sumberdaya manusia yang berkualitas, kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi, pengalaman sosial yang panjang, dan modal sosial yang luar biasa Muhammadiyah akan mampu menjadi kekuatan pencerahan di negeri ini. Kini dalam memasuki perjalanan abad kedua tuntutannya ialah bagaimana segenap anggota terutama kader pimpinan Muhammadiyah, memanfaatkan dan memobilisasi seluruh potensi dan sistem gerakannya untuk tampil menjadi gerakan Islam modern yang unggul di segala lapangan kehidupan.

Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di tengah dinamikan abad modern tahap lanjut yang sarat tantangan, Muhammadiyah dituntut melakukan transformasi pemikiran dan gerakan praksisnya di segala bidang yang selama ini diperankan plus bidang-bidang baru yang dikembangkannya.

Pembaruan Gelombang Kedua
Transformasi di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Pembaruan gelombang kedua menjadi keniscayaan bagi Muhammadiyah dalam memasuki fase itu. Di sinilah pentingnya transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan tajdid yang lebih mendasar dan memiliki kekayaan pemikiran dan model-model praksis (aksi berbasis refleksi) yang bersifat alternatif.

Memasuki abad kedua, Muhammadiyah akan sarat masalah dan tantangan. Tapi, dengan prinsip dan orientasi gerakannya yang kokoh memiliki peluang yang besar untuk berhasil. Muktamar Satu Abad tahun 2010 telah membekali Muhammadiyah dengan perspektif dan orientasi gerakan yang kokoh dan terang benderang dalam memasuki masa depan, baik jangka pendek, menengah, dan panjang.

Dengan fondasi ideologi reformis dan moderat yang menjadi karakter gerakannya plus pandangan Islam yang berkemajuan dan berbagai potensi sumberdaya manusia, amal usaha, dan jaringan yang dimilikinya, Muhammadiyah akan mampu menghadapi masalah dan tantangan yang menghadang betapa pun kompleksnya.

Karena itu dalam memasuki dan menjalani abad kedua, Muhammadiyah memerlukan strategi revitalisasi atau bahkan lebih auh lagi transformasi gerakan dari hal-hal dalam seluruh aspeknya dalam arus besar transformasi dakwah dan tajdid Muhammadiyah abad ke-21 sebagaimana terkandung dalam keputusan-keputusan Muktamar ke-46, khususnya Program Muhammadiyah dan Pernyataan Muhammadiyah Abad Kedua.

*)Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Thursday, December 15, 2011

Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki Abad Kedua

Judul Buku : Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan
Pemikiran Memasuki Abad Kedua
Penulis : Dr. Zuly Qodir
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal : 183

Sinopsis

Ada banyak tulisan mengenai Muhammadiyah tetapi dari orang luar dan cenderung berbicara atau membahas Muhammadiyah dalam perspektif sejarah atau politik. Buku ini menyajikan Muhammadiyah dalam perspektif Muhammadiyah sebagai subjek sekaligus objek dalam pendekatan subaltern theory atau dalam bahasa lain menulis Muhammadiyah dalam pendekatan "pribumi" atau mungkin bahasa sekarangnya adalah perspektif poskolonial bukan kolonialis apalagi islamic studies yang senderung Amerika-Eropa. Buku ini memberikan potret ringkas tentang Muhammadiyah dalam periode sepuluh tahun terakhir. Dimaksudkan untuk memberikan catatan-catatan pada publik terkait Muhammadiyah yang sedang berada dalam pergolakan hebat baik datang dari internal Muhammadiyah, internal Islam, dari pengaruh nasional dunia politik, ekonomi, dan budaya, serta dari pengaruh global yang nyaris tidak dapat dibendung. 

Retrieved from: http://www.kanisiusmedia.com/product/detail/026917 
------------

Reorientasi Gerakan Muhammadiyah

Muhamamdiyah adalah suatu wadah organisasi keagamaan yang berdiri pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, dalam kalender hijriyah tahun 2010 kemarin genap berusia 1 abad. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah telah banyak berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam usia satu abad tersebut masih meninggalkan berbagai permasalahan yang perlu diperbaiki oleh Muhammadiyah.

Zuly Qodir, penulis buku Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki Abad Kedua coba menguraikan ketidakpuasannya ketika mendapatkan pertanyaan sewaktu menjadi pemateri yang dilaksanakan oleh pimpinan Muhammadiyah pada tingkat ranting sampai tingkat pusat Muhammadiyah.
 
Dalam buku ini, Zuly yang merupakan kader Muhammadiyah menjelaskan kondisi, tantangan dan agenda masa depan Muhammadiyah di abad kedua. Adapun alasan-alasan penulis menulis buku ini karena ingin memberikan potret ringkas tentang Muhammadiyah dalam periode sepuluh tahun terakhir yang belum banyak dibahas.
Memasuki abad kedua ini, Muhammdiyah menghadapi tantangan. Dalam khittah penguatan ideologi, Muhammadiyah sedang berada kondisi lemah akan pemahaman mengenai gerakan Islam dalam berbagai aspek yang mendasar sehingga Muhammdiyah kehilangan arah dan komitmennya dalam ber-Muhammadiyah, lemahnya kader Muhammdiyah dalam segi spirit, militansi, karakter atau identitas dan visi gerakan dalam menggerakkan Muhammadiyah.
 
Apabila kader Muhammadiyah memiliki jiwa seperti itu, maka Muhammadiyah akan mengalami kesulitan dalam melakukan pembaharuan. Muhammadiyah masih lemah dalam ikatan solidaritas kolektif dalam membangun tali silaturahmi antarwarga Muhammadiyah dan masih kuatnya tarikan politik di internal Muhammadiyah. Padahal, lahirnya Muhammadiyah ini tidak untuk berpolitik, melainkan berdakwah amar ma'ruf nahi mungkar. 

Kecenderungan aktivis Muhammadiyah yang berada dalam amal usaha Muhammadiyah tidak membesarkan amal usaha tersebut, melainkan aktivis Muhammadiyah malah membesarkan amal usaha yang lainnya.
Dengan melihat kondisi-kondisi Muhammadiyah seperti itu, buku ini dapat menjadi agenda organisasi Muhammadiyah dalam melakukan pembaharuan-pembaharuan. Penulis buku ini memaparkan setiap babnya secara sistematis dan menggunakan bahasa yang mudah pembaca pahami.
 
Adapun agenda masa depan yang harus dilakukan Muhammadiyah di abad kedua pertama, menghadapi masalah bangsa, umat Islam dan umat manusia sedunia yang bersifat komflek dan krusial. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah diharapkan tidak kenal lelah dalam berkiprah menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemajuan umat. Peran-peran politik kebangsaan diharapkan dapat mewujudkan reformasi nasional dan mengawal bangsa tanpa terjebak dalam politik praktis. Sementara dalam pergaulan Internasional, Muhammadiyah diharapkan terpanggil untuk menjalankan peran global dalam membangun tatanan dunia yang amal, damai, maju. Khususnya untuk kepentingan umat Islam baik lokal, nasional dan global, Muhammadiyah dituntut untuk terus memainkan peran dakwah dan tajdid secara lebih baik.
 
Buku ini juga layak dijadikan bahan renungan bersama khususnya internal Muhammadiyah karena banyak membahas tentang kondisi Muhammadiyah baik yang sedang terjadi ataupun agenda Muhammadiyah kedepan. Buku ini juga layak dibaca siapa saja yang ingin mengetahui reorientasi gerakan Muhammadiyah pada abad kedua.

Pustaka Jurnal Nasional, 09 Maret 2011

Tommy Setiawan, Mahasiswa Program Studi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Retrieved from: http://putrasukoharjo.blogspot.com/2011/03/reorientasi-gerakan-muhammadiyah.html

Tuesday, December 13, 2011

Purist Islam: Ketimpangan sebuah Nalar?

Purifisme Islam dan Ketimpangan sebuah Nalar

Judul buku : Agama Borjuis; Kritik atas Nalar Islam Murni
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Penerbit: Ar-Ruzz, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2004
Tebal buku : 460 halaman

TAFSIR atas ajaran agama (baca: Islam), masih kerap menunjukkan adanya keterputusan pemahaman akan pesan agama dengan tindakan etis dan real pembebasan. Agama masih seringkali dimaknai dalam kerangka "tameng" belaka, simbol kesalehan saja dan jauh dari praktek keberpihakan terhadap kaum papa. Padahal secara historis, kelahiran Islam selain membawa misi pembebasan juga ditengarai terbuka ruang tafsir yang memunculkan pluralitas. Tak salah, jika dalam sejarah Islam kemudian muncul aneka sekte (kalam dan fiqih) yang bisa disimpulkan; bahwa Islam adalah agama yang menyejarah (karena lahir 15 abad lalu di Makkah dan menyebar ke wilayah lain sehingga terjadi akulturasi) dan mengakui adanya perbedaan.

Tetapi, hal itu tampaknya dipahami secara sempit oleh gerakan Islam murni model Muhammadiyah dan Persis. Dua gerakan pemurnian itu yang mendapat pengaruh dari Wahabi (Arabia) dan pembaruan dalam dunia Islam (Abduh-Rasyid Ridha) selain mengusung wacana kebenaran tunggal (tafsir) bahwa Islam adalah agama final sehingga dalam memecahkan masalah harus kembali ke al-Qur`an dan sunnah, juga mengidealisasikan kehidupan nabi. Karenanya, Islam murni tidak memberi ruang adanya praktek populer dan budaya lokal. Sebab, kedua hal itu dianggap bid`ah. Lebih parah lagi, ada semacam pemaksaan bahwa keberagamaan Islam murni sebagai satu-satunya jalan "keselamatan" yang harus diikuti.



Nalar yang diusung oleh gerakan Islam Murni itulah yang dikritik dan disingkap adanya tabir ideologi dibalik metamorfosis gagasan dan nalar model Islam murni, karena ditengarai penulis selain meninggalkan problem inheren, juga telah menempatkan Islam dalam fakta a-historis. Lebih parah, ternyata ideologi Islam murni, di mata penulis, mementingkan kesalehan individual dan tidak mengapresiasikan "perubahan sosial" kaum miskin. Tak salah, kalau bagi penulis (alumnus Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini), ideologi Islam murni itu dibaptis sebagai (ke)agama(an) kaum borjuis.
***

ADA beberapa kritik yang dilancarkan Khalik berkaitan cara berpikir, gagasan dasar dan metamorfosis dari gagasan Islam murni. Pada level terbaca, di antara kritik yang dilancarkan Khalik berkaitan pemahaman Islam yang oleh Islam murni dipandang statis. Padahal pemahaman Islam di mana pun tak pernah satu. Ia selalu berdialog dengan sejarah dan kesempurnaan Islam jika merujuk surat al-Maidah 3 haruslah dipahami bahwa; kesempurnaan Islam terletak dalam konteks generik (moral) bukan pada aspek legal-institusional. Pemahaman itu, muncul sebab "teks" ditafsirkan secara "leterlek". Tanpa melihat konteks dan menyejarahkan teks, jelas akan membawa agama justru untuk Tuhan, bukan untuk manusia.

Juga, ketika Tuhan digambarkan secara abstrak, sebagai Sang Penguasa dan Yang Berkehendak tanpa pernah ada kejelasan lebih lanjut. Jelas hal itu, selain tidak membumikan dan menyejarahkan Tuhan, lebih jauh juga memberikan "tembang kenangan" bagi kaum miskin untuk menjadikan agama sebagai nina bobo saja. Apalagi saat gagasan dasar yang diusung oleh Islam Murni; diklaim yang paling benar dan satu-satunya jalan keselamatan setelah kembali ke al-Qur`an dan sunnah.

Tak berlebihan, jika gerakan Islam murni kemudian dengan semena-mena menuduh ritual dan praktek lokal (seperti mitoni, selamatan, maulid nabi dan diba`an) dianggap bid`ah dan sesat. Jelas saja, kenyataan itu menurut Khalik berarti telah menafikan adanya tafsir lain dan "kebenaran lain" pada aliran yang berbeda dengan Islam murni. Padahal, kebenaran Islam itu tidak tunggal, juga ritual agama itu adalah masalah individual dan yang lebih penting lagi; semua kebenaran itu datang dari Tuhan! Karenanya klaim sepihak itu merupakan kecerobohan mendasar.

Dilihat dari basis sosial dengan memandaskan kelahiran dan eksisnya Islam murni yang dipeluk orang perkotaan dari pedagang dan pegawai, Khalik melihat bahwa cara berpikir Islam murni; selain tidak berupaya "membebaskan" kaum papa, juga menjadi alat ampuh bagi kelompok borjuis; untuk melindungi kepentingannya dengan baju sakralitas keberagamaan. Sebab, agama hanya pada dataran simbolisme belaka dan bahkan tidak dijadikan elemen pembebasan bagi wong cilik.

Apalagi ditopang mobilitas sosial berupa sekolah formal, media massa dan keterlibatan berpolitik. Tidak salah, gerakan Islam murni dalam bangunan relasi ditengarai Khalik kerap "tak akur" dengan proletar Marhaen, proletar komunis dan proletar santri. Sebaliknya, dengan borjuis-kolonial-Belanda dan borjuis-Cina-Pariah malah kerap akur dan terjadi simbiosis. Jelas saja, itu merupakan tantangan baru bagi generasi (keempat) dari kaum santri baru baik dari Muhammadiyah, NU, Kelompok Usroh, maupun kalangan santri radikal (untuk lebih jelasnya akan tantangan ini bisa dibaca dalam buku karya penulis yang baru berjudul "Santri Baru" [Gerigi Pustaka; 2004]).
***

SAYANGNYA, buku yang ditulis dengan menabuh genderang kritikan yang menohok ini lebih menitikberatkan gagasan pemurnian Muhammmadiyah dibanding dengan Persis. Padahal, dalam gerakan pemurnian Islam sendiri penulis telah menyebutkan pula gerakan lain seperti Padri, Sumatra Thawalib, Serikat Islam (SI) dan Masyumi. Bisa jadi mungkin benar, karena Persis tidaklah lama eksis sebagai sebuah gerakan. Juga, keberadaan SI dan Masyumi lebih pada wilayah atau ke akses politik daripada sebagai paham keagamaan.

Selain itu, kekurangan lain dari buku karya penulis yang "menderita" ini adalah tak fair-nya dalam memberikan balance sebagai penyeimbang dalam kritik yang dilancarkan. Dengan kata lain, Khalik sama sekali tak menelusuri akar sejarah perkembangan dan pertumbuhan Muhammadiyah dan Persis melainkan lebih menitikberatkan pada ketokohan Ahmad Dahlan dan A. Hasan. Tak pelak, sumbangan besar Muhammadiyah dan Persis dalam kesejahteraan umat, kemudian seolah-olah terkuburkan.

Meski begitu, buku yang secara teknis merupakan kelanjutan dari buku Islam Borjuis Islam Proletar (2002) ini telah membentangkan satu pengertian bahwa kebenaran akan logika tunggal seperti yang diusung gerakan Islam murni merupakan pilihan tidak mengenal pluralitas, membunuh kreativitas beragama, mematikan nalar dan menempatkan wahyu pada ruang a-historis. Karenanya, bagi khalik, purifikasi adalah satu bentuk kekerdilan dikarenakan Islam merupakan kekuatan plural.***

*) Nur Mursidi, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta
Retrieved from: http://etalasebuku.blogspot.com/2007/09/resensi-kisah-cinta-sejati-yang.html

Monday, December 12, 2011

Serving Young Indonesian Muslim Women: The Dynamics of the Gender Discourse in Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005

Originally: Syamsiyatun, Siti. 2006. Serving young Islamic Indonesian women: the development of gender discourse in Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005. Thesis (Ph.D.)--Monash University.
 
Blurb/Shorttext:
Muslim veiled women have often been portrayed by some secular feminists as being powerless, submissive and oppressed. While such depiction might be true for some Muslim women in particular context, generalization does not help to understand their realities. The book highlights the agency played by young Muslim women, represented by those organizing through Nasyiatul Aisyiyah (founded in 1931), to secure and serve their gender interests. These young women have taken their moral and ethical foundations for the cause of women empowerment from the Qur''anic texts and Indonesian traditions. The book analyzes their strategies for empowerment program implementation, which they developed within the space controlled by the Indonesian state and male-dominated Islamic organizations. It offers originality of primary data from the Muslim women''s experiences, dreams, struggles and achievements, thus supplies significant fresh knowledge on the dynamics of gender discourse in a democratic country where Muslims are the majority for concerned scholars in gender studies, women''s movement, Islamic studies, Indonesian studies, and general readers.
 
Publishing house:
LAP LAMBERT Academic Publishing
Website:
http://www.lap-publishing.com/
By (author) :
Siti Syamsiyatun
Number of pages:
268
Published at:
2010-08-11
 

Thursday, December 8, 2011

Keluarga Sakinah dalam `Aisyiyah: Diskursus jender di organisasi perempuan Muhammadiyah

Salman, Ismah. 2005. Keluarga Sakinah dalam `Aisyiyah: Diskursus jender di organisasi perempuan Muhammadiyah. Jakarta: PSAP Muhammadiyah

Originally from Salman's PhD dissertation at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

From back cover:

Sulit ditemukan karya tulis yang membahas keluarga sakinah yang ditulis oleh seorang perempuan. Uniknya lagi, buku ini menggunakan perspektif keadilan dan kesetaraan. Karya yang awalnya disertasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berasal dari pengkajian mendalam tentang perempuan dan keluarga sakinah dengan mengambil sampel penelitian di beberapa kawasan yang menjadi basis organisasi perempuan Islam, `Aisyiyah (Ortom Muhammadiyah), yaitu: Yogyakarta, Jakarta, Padang, dan Ujung Pandang (Makassar).

Secara umum buku ini berisi implementasi pemahaman tentang perempuan dalam `Aisyiyah yang menguraikan kedudukan, ruang gerak, hak-hak, dan peran mereka sebagai pembina keluarga serta dalam pengembangan masyarakat. Di samping itu, juga dikaitkan dengan persepsi tentang gender yang dalam dua dasawarsa terakhir ramai dibicarakan. Karya unik ini juga membahas strategi pembinaan keluarga sakinah yang meliputi pembinaan keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Di bagian akhir buku ini diuraikan upaya sosialisasi keluarga sakinah, yang diantaranya melalui dakwah pada lembaga pendidikan dan instansi pemerintah, dakwah bagi remaja, dan lain-lain.

Di samping membahas konsep keluarga sakinah menurut `Aisyiyah (dan tentunya berkaitan dengan Muhammadiyah), buku ini juga memberikan beberapa masukan dan kritik terhadap `Aisyiyah terkait dengan program pembinaan keluarga sakinah. Banyak ide-ide baru mengenai perempuan dan keluarga sakinah yang bisa dipetik dari karya ini.

Sunday, December 4, 2011

New Directions in Muhammadiyah

Retrieved from: Feener, R. Michael. 2007. Muslim legal thought in modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. pp: 204-10.


Because of the dynamic development of some sectors within the ‘traditionalist’ pesantren community over the past three decades, the NU has attracted substantial outside scholarly attention in recent years. This represents a significant shift from the situation prior to that when the NU was of little interest to most foreign observers. Writing in 1985, Francois Raillon remarked on the unusual scholarly work of Allan Samson at that time, whom he characterizes as arguing “that Western scholars only know NU through the unfavorable views of reformist Muslims. So far NU has failed to correct this negative image, and it still has little communication with non-Muslims.”Shortly thereafter, however, a dramatic sea-change occurred as the NU became not only more deeply involved with foreign NGOs, but also the subject of the work of a number of international scholars who formed strong ties with many of those involved in the organization’s pesantren as well as its politics. In a paper recently presented at Singapore, Greg Fealy has critiqued this trend (and even his own involvement in it), cautioning that it has resulted in a tendency for observers to overlook developments in other sectors of the IndonesianMuslim community, including the Muhammadiyah.

Doing so would be a considerable oversight in a treatment of contemporary Indonesian Islamic thought, as over the past few years internal movements for the reform of Muhammadiyah have also made significant contributions toward the revitalization of Islamic intellectualism in contemporary Indonesia. At the forefront of this has been a group of young thinkers and activists, many of whom have come through the IAIN and have thus been exposed to a broad range of ideas on Pembaharuan, contextualization, and Fiqih Sosial in their studies of Islam. While they remain a somewhat marginal constituency of the Muhammadiyah at large, their work has found support from various sectors within the organization, and particularly in the grass-roots activist circles associated with Moeslim Abdurrahman.

In his 1995 book entitled Islam Transformatif Abdurrahman voiced a critique of the current state of the Muhammadiyah and called for a reorientation of the movement in order to more responsibly fulfill its founding mandate for religious revival and social transformation. In the essays published there, he rebuked the organization for directing overwhelming attention to the modernist obsessions with ‘peripheral matters’ such as the audible pronunciation of niyya, and the permissibility of men and women shaking hands. Beyond this, however, he also challenged what he considered to be the elitist nature of Islamic modernism as well as the tendencies toward the ideologization and politicization of Islam that he sees as having led to the spread of reactionary conservatism within ‘modern reformist’ organizations such as Muhammadiyah. In looking for ways to overcome these problems, Abdurrahman drew inspiration from the work of critical Muhammadiyah scholar Kuntowijoyo (d. 2005) in seeking a new, ‘profetis’ format for the social sciences that could be put into the service of ethical endeavors for the improvement of society. This, Abdurrahman argues, would require cooperative efforts with preachers, `ulama, and social scientists to transform the umma through the application of new, socially engaged ideas on religion and society. To further their work of “collective ijtihad ” he calls for the establishment of a new center for the study of Islam, complete with an information center and library facilities for documentation. He has since begun some work in that direction himself on a modest scale in a converted house that now serves as the headquarters for a group calling themselves the Young Muhammadiyah Intellectual Network (Jaringan Intelektual Muhammadiyah Muda/ JIMM).

Abdurrahman has become a kind of mentor for younger thinkers and activists associated with JIMM intent on transforming theMuhammadiyah from within with an emphasis on social engagement. In describing the project of JIMM in the preface to a collection of essays produced by its members, he has highlighted what he sees as three major characteristics: (1) a new openness of approach to hermeneutics; (2) an emphasis on ‘liberation’ and ‘resistance to hegemony’ and (3) a sense of practical engagement with “the New Social Movement.”78 Despite such over-arching characterizations, however, JIMM itself is internally diverse, some of its members have even come to it from out of NU backgrounds.Most of those affiliated with the movement share an intellectually imaginative orientation toward Islam and an affinity for grass-roots social activism. They pursue these interests through an array of overlapping methods ranging from forms of social critique building upon the work of Gramsci, as well as that of Roman Catholic liberation theologians, to new models of scriptural exegesis and a critical re-evaluation of the ways in which conceptions of gender are operative within the ideals and institutions of Muhammadiyah.

In ways that, in their rhetorical form, reflect concerns within the NU to create a model of Post-traditionalism, the young activists associated with JIMM call for the development of a Post-Puritan vision for the Muhammadiyah. For example, Abd. Rohim Ghazali and Zakiyuddin Baidhawy have called for a reappraisal of Muhammadiyah’s fundamental concern with what its adherents commonly refer to as ‘TBC’ (Takhayul, Bid`ah, and Churafat). Rather than seeing the real targets of reform as these ‘imaginations, innovations, and superstitions (respectively)’ in religious beliefs and practices, the thinkers and activists associated with JIMM argue for a new, religiously based critique of such ‘idolatrous’ dangers to the community as “corruption, nepotism, and the cult of individualism.” Thus in place of whatMoeslim Abdurrahman has critiqued as a stultified emphasis on da`wa as a form of ‘propaganda’ JIMM directs its work toward the development of what have come to be referred to as ‘alternative cultural da`wa’ strategies that are both ‘new’ and at the same time true to their understandings of the “original, dynamic vision of Muhammadiyah” put forward by the organization’s founder K. H. Ahmad Dahlan.

Thursday, December 1, 2011

Islam Berkemajuan: Prinsip Kritisisme dalam “Ideologi” Muhammadiyah

Islamlib.com, 01/11/2011
Oleh Muh. Asratillah Senge*
“Ahmad Dahlan adalah salah satu ulama Islam yang berusaha mendekatkan antara rasionalitas dan pengamalan serta pengalaman keberagamaan. Dengan kata lain Sang Pencerah tersebut berusaha menjadikan ilmu pengetahuan sebagai teman akrab bagi agama”
Awal kehadiran Muhammadiyah di Nusantara memang digerakkan oleh sebuah tujuan besar yaitu menghadirkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dan keinginan kuat untuk mewujudkan tujuan tersebut diawali dengan “gugatan”. Muhammadiyah menggugat realitas keagamaan yang mandul pada masanya, menggugat realitas kebudayaan yang impoten dan mengugat realitas sosial yang timpang. Saat Muhammadiyah menawarkan narasinya sendiri mengenai sejarah kemanusiaan, dia melakukan gugatan terhadap narasi-narasi lain disekitarnya. Di sinilah titik persimpangan mengenai karakter gerakan Muhammadiyah: apakah Muhammadiyah merupakan gerakan puritan dogmatik ataukah gerakan yang mendorong fresh ijtihadi di tengah-tengah umat?

Tapi kalau kita membaca beberapa catatan sejarah mengenai manuver-manuver yang dilakukan Ahmad Dahlan beserta para muridnya, kita bisa melihat citra yang santun, bahkan gugatan yang dilakukan terhadap praktik keagamaan pada saat itu bukanlah tanpa disertai dengan dialog yang mencerdaskan. Gugatan yang mendahulukan dialog mencerdaskan inilah yang menurut hemat penulis merupakan karakter kritisisme dalam diri Muhammadiyah. Tetapi hingga saat ini belum ada rumusan atau gagasan yang mencoba mengulas bagaimana wajah kritisisme dalam diri Muhammadiyah, apa prinsip-prinsip yang bisa menjadi penandanya. Berangkat dari situ, tulisan ini bertujuan untuk mencoba merumuskan prinsip-prinsip kritisisme dalam Muhammadiyah, terkhusus dalam ideologi Muhammadiyah yaitu Islam Berkemajuan.
 

Karakter “keterbukaan” Ideologi Muhammadiyah ditandai dengan penghormatan terhadap dinamisasi kemanusiaan dan kamajemukan. Tetapi karakter ideologi Muhammadiyah sebagai ideologi terbuka akan terasa kurang tajam jika kita tidak mengikutsertakan hasrat kritis sebagai salah satu penandanya. Hasrat kritis sudah nampak sejak awal kehadiran Muhammadiyah, dengan gugatan dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan.

Tetapi untuk mengulas karakter ataupun prinsip kritisisme dalam Ideologi Muhammadiyah, penulis mencoba meminjam buah pikiran dari beberapa orang pemikir. Yang pertama adalah Nashr Hamid Abu Zayd dengan merujuk pada bukunya yang berjudul Naqd al-Khitab al-Dini. Yang kedua adalah Sayyid Muhammad Assyahid dalam tulisannya yang berjudul Al-Turats bain al-Taqlid wa al-Tajdid. Ketiga, Hassan Hanafi dalam karyanya at-Turats wa at-Tajdid. Dan yang keempat seorang teoritisi sosial Ben Agger yang merujuk pada bukunya yang berjudul Critical Social Theories: An Introduction.

Meskipun tradisi kritis-akademis saat ini berasal dan berkembang di tanah Eropa yang secara keseluruhan disebut dengan Cultural and Critical Theories, tetapi peminjaman dan proses dialog dengan the others (dalam hal ini “Barat”, jika kita melabeli Islam sebagai “Timur”; walaupun kategorisasi diametral antara “Barat” dan “Timur” menurut Edward Said adalah sesuatu yang politis) merupakan hal yang lumrah dalam tubuh gerakan-gerakan Islam Progresif, salah satunya Muhammadiyah. Hal itu sebagaimana dilansir oleh Prof. Amin Abdullah dengan mengutip pendapat Abdullah Saeed bahwa salah satu karakter pemikiran Muslim progresif adalah upaya untuk mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradsional dengan pemikiran dan pendidikan Barat.


Muhammadiyah dalam progresivitasnya sebagai aktor sosial, berdialektika dengan dua hal pokok. Pertama, Muhammadiyah berdialektika dengan al-turats atau teks-teks keagamaan yang menjadi inspirasi dan legitimasi transendental bagi Muhammadiyah dalam melakukan aktivitas. Kedua, Muhammadiyah berdialektika dengan realitas sosial yang merupakan medan (field) di mana Muhammadiyah menjangkarkan eksistensinya dan berusaha mengaktualisasikan, mengekspresikan, mendialogkan serta mengusahakan tujuan-tujuannya. Ini barangkali paralel dengan konsep dalam Ushul Fiqh, yaitu dialektika antara al-tsawabit (hal-hal yang dianggap tidak berubah) dan al-mutaghayyirat (hal-hal yang dianggap berubah-ubah). Hal ini juga paralel dengan konsep Aristoteles mengenai konsep helyomorphicnya yaitu perjumpaan antara form dan matter atau dalam konsep antropologi dialektika antara General Pattern dan Particular Pattern, atau lebih sederhananya dialektikan antara yang qath’iy dan dzanniy.

Terlebih dahulu, kita coba membahas bagian di mana Muhammadiyah berdialektika dengan al-turats. Dalam hal ini kita mencoba meminjam pandangan Nashr Hamid Abu Zayd, Assyahid dan Hasan Hanafi.  Apakah yang dimaksud dengan al-turats? Al-turats secara umum diartikan sebagai tradisi atau segala hal yang dihasilkan oleh generasi-generasi sebelum kita, apakah dalam bentuk pemikiran maupun kebudayaan secara umum, yang diwariskan secara turun-menurun dan dikembangkan oleh setiap lapis generasi sesuai dengan kemampuan mereka. Tetapi untuk kepentingan pembahasan kita kali ini, al-turats kita batasi sebagai segala bentuk pandangan atau produk pemikiran keagamaan yang dianggap atau diklaim sebagai hasil dari refleksi atas dua teks keagamaan mendasar yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam dialektika dengan al-turats ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, al-turats adalah sesuatu yang tidak boleh disia-siakan oleh Muhammadiyah, tetapi yang perlu dilakukan selanjutnya adalah melakukan pengembangan-pengembangan dan aktivitas pengasahan kreatif terhadap al-turats. Dalam proses pengembangan tersebut, Muhammadiyah memerlukan segala sarana yang tersedia disekitarnya. Dalam hal ini merupakan sebuah keniscayaan Muhammadiyah meminjam atau berdialog dengan kebudayaan-kebudayaan atau karya-karya pemikiran lain yang bersinggungan dengannya. Tetapi Muhammadiyah harus tetap kritis terhadap kebudayaan-kebudyaan tersebut dalam rangka pengembangan kreatif serta pelampauan dan penyempurnaan segala bentuk kekurangan dalam al-turats. Yang perlu menjadi penekanan di sini adalah bahwa yang saya maksud dengan pengembangan kreatif adalah sesuatu yang menjadi oposisi terhadap pengulangan-pengulangan terhadap al-turats.

Hal kedua yang penting diperhatikan saat berdialektika dengan al-turats bahwa sebagai bentuk tanggung jawab keagamaan dan kebudayaan, al-turats merupakan titik awal, sedangkan pembaruan merupakan upaya menafasir secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan zaman. Orisinalitas adalah landasan untuk kekinian, yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.  Al-turats adalah landasan awal untuk melakukan perubahan. Pembaruan adalah pengembangan yang merupakan sumbangsih dalam memecahkan persoalan-persoalan aktual dan mengantisipasi secara kreatif persoalan-persoalan yang masih bersifat mungkin,  membuka segala pintu yang sebelumnya tertutup bagi pengembangan al-turats.

Nilai al-turats tidak hanya terletak secara intrinsik pada dirinya, tetapi juga bagaimana dia mampu menyediakan semacam bingkai berpikir ataupun landasan bagi pengembangan teori-teori ilmiah selanjutnya dalam menghadapi realitas. Al-turats bukanlah barang antik yang terpajang dalam museum sejarah yang selalu dielu-elukan, dibangga-banggakan dan selalu menatapnya dengan penuh kekaguman yang berlebihan. Al-turats merupakan landasan untuk berpacu, orientasi bergerak bagi Muhammadiyah, titik awal (legendum) untuk melakukan perubahan menuju tatanan yang lebih baik, yang oleh Muhammadiyah diberi nama “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.


KH. Ahmad Dahlan adalah salah satu ulama Islam yang berusaha mendekatkan antara rasionalitas dan pengamalan serta pengalaman keberagamaan. Dengan kata lain Sang Pencerah tersebut berusaha menjadikan ilmu pengetahuan sebagai teman akrab bagi agama. Maka hal ketiga yang perlu dilakukan atau ditekankan oleh Muhammadiyah dalam dialektikanya dengan al-turats adalah membangun semacam kesadaran “kritis ilmiah” terhadap al-turats. Walaupun al-turats merupakan awal berpijak kita, dan merupakan bahan baku yang digunakan untuk bergulat dengan “kekinian” serta menatap masa depan, tetapi agar al-turats tidak menjadi beku dan jumud maka sangat penting untuk memperhatikan aspek historisitasnya secara kritis, dasar-dasar apa yang membentuknya serta faktor-faktor apa saja yang menggerakkannya sehingga memperoleh bentuk seperti apa yang sampai kepada kita sekarang ini. “Ilmu” merupakan lawan terhadap kebanggaan-kebanggaan terhadap apa yang kita miliki dimana kita yang menggunakannya kemungkinan besar tidak terkait secara intensif dalam proses kreasinya.

Selain ketiga hal yang harus diperhatikan dan ditekankan oleh Muhammadiyah di atas, ada beberapa hal yang menurut penulis harus dihindari Muhammadiyah agar tidak terjatuh menjadi gerakan Islam yang statis dan kehilangan predikat progresifitasnya. Pertama, Muhammadiyah jangan sampai buta dalam membedakan antara agama dengan pemikiran agama. Agama adalah sesuatu yang sudah final secara teks, tetapi pemikiran agama merupakan sesuatu yang sah-sah saja diperiksa ulang, dikritik dan bukanlah sesuatu yang final. 

Kedua, Muhammadiyah harusnya berasumsi bahwa fenomena-fenomena keberagamaan, kemasayarakatan dan kebudayaan di sekitarnya tidaklah disebabkan oleh sebab yang tunggal. Tetapi ada banyak sebab: kekuatan sosial, kepentingan serta kuasa yang ikut andil dalam membentuknya. Hal ini untuk menghindari reduksi berlebihan terhadap persoalan yang seringkali dilakukan oleh beberapa gerakan Islam Transnasional. 

Ketiga, Muhammadiyah jangan sampai melakukan mistifikasi terhadap tradisi salaf, menganggapnya sebagai teks-teks primer yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan. Teks-teks yang dihasilkan otoritas salaf setelah al-Qur’an dan Sunnah Rasul hanya merupakan teks-teks sekunder, yang seringkali diposisikan oleh beberapa gerakan Islam pada posisi yang setara bahkan lebih tinggi dibanding teks primer yang sebenarnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini untuk menghindarkan Muhammadiyah dari virus taqlid buta. Keempat, Muhammadiyah jangan sampai memiliki keyakinan mental dan kepastian intelektual yang final. Muhammadiyah harus tetap membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan, pernak-pernik pemikiran. Orientasi Muhammadiyah adalah masa depan, masa kini dan masa lalu bukanlah tujuan. Kelima, Muhammadiyah jangan terjatuh pada sikap romantisme masa lalu yang gemilang. Misalnya menyamakan secara picik kondisi pada masa Khulafa’urasyidin dengan saat ini, dan mengambil keputusan dengan terlalu cepat bahwa solusi-solusi masa lalu bisa dicaplok begitu saja untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian.  Harus disadari bahwa ada perubahan sejarah dan gap setting ruang dan waktu yang jauh. Apa yang dilakukan para sahabat merupakan inspirasi yang sangat penting untuk disarikan spiritnya, tetapi harus disesuaikan secara kreatif dengan kekinian. Muhammadiyah jangan sampai mengabaikan dimensi historisitas.

Selanjutnya penulis akan mencoba mengulas beberapa prinsip saat Muhammadiyah berdialektika dengan realitas sosial, baik realitas keberagamaan, realitas kebudayaan, ekonomi, dan politik. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pengakuan akan kesatuan organik antara pengetahuan dan aksi atau praksis, adanya relasi komplementer antara teori dan praksis. Praksis membutuhkan teori sebagai usaha awal untuk memetakan medan aksi bagi Muhammadiyah, untuk menjelaskan terma-terma kunci bagi sebuah persoalan, menentukan prioritas-prioritas bagi pengambilan keputusan. Sebaliknya pula pengetahuan, atau teori, berkembang seiring dengan pengalaman eksistensial yang dihadapi Muhammadiyah saat bergulat dengan realitas sosial. Ada aksi dan refleksi yang bergulir secara terus-menerus yang seharusnya inheren dalam gerakan Muhammadiyah. Dalam bahasa yang lebih sempurna: adanya persenyawaan antara ilmu dan amal dalam artian yang luas. Setiap refleksi yang dilakukan Muhammadiyah terhadap realitas sosial, menuntut tanggung jawab untuk mengubahnya menjadi tatanan yang lebih baik dan adil.

Kedua, pengetahuan bukanlah refleksi semata terhadap realitas. Tetapi pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Prinsip ini sangat signifikan pada saat Muhammadiyah berhadapan dengan wacana-wacana, diskursus-diskursus yang berkembang. Wacana tidaklah netral begitu pula dengan diskursus-diskursus pengetahuan, tetapi sesuatu yang sangat rentan akan intervensi kekuasaan. Hal ini juga membuat Muhammadiyah lebih arif dalam menghadapi perbedaan pendapat mengenai sesuatu hal atau persoalan, sebab setiap tawaran wacana atau pendapat atau pengetahuan akan sesuatu hal, tidak ada yang merupakan refleksi transparan atau apa adanya akan realitas. Setiap wacana atau pengetahuan merupakan usaha memandang sesuatu dari perspektif tertentu.

Ketiga, optimisme terhadap masa depan yang lebih baik dibanding masa kini dan masa lalu yang penuh dengan dominasi dan ketidakadilan. Masa depan memiliki potensi-potensi kebaikan yang harus diaktualisaikan melalui aksi-aksi politik dan sosial. Muhammadiyah harus menjadi agen dan pendorong perubahan sosial demi merengkuh masa depan yang lebih baik.

Keempat, persoalan sosial bukanlah persoalan individu an-sich, tetapi lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab struktural. Artinya peranan institusi sosial yang besar semisal politik, ekonomi, bahasa, ras serta gender memiliki andil politik yang lebih besar. Muhammadiyah semestinya melakukan analisis secara kritis terhadap struktur-struktur sosial tersebut agar bisa mengungkap akar rasional dan global dari segala bentuk problem dan penindasan yang terjadi.

Kelima, struktur sosial yang dominatif dipelihara atau dilanggengkan atau direproduksi melalui kesadaran palsu, ideologi tertutup, al-turats yang jumud atau habitus tertentu. Struktur sosial yang dominatif direproduksi melalui pengetahuan, wacana-wacana, teks-teks ataupun diskursus-diskursus yang mengelilingi kita. Sehingga mereka yang didominasi berpikir bahwa satu-satunya jalan adalah menyesuaikan diri dengan struktur sosial yang ada. Muhammadiyah percaya terhadap subjektivitas manusia dan potensi kreatifnya sebagai agen atau khalifah dalam mematahkan dominasi.

Keenam,  perubahan sosial dimulai dari hal-hal yang kecil, dari rumah, dari interaksi kita dengan pasangan, dengan anak-anak, saudara-sudara, dari hal-hal sepele semisal selera belanja kita, selera tontonan TV kita dan sebagainya. Hal ini untuk mendukung voluntarisme secara kritis dan menghindari determinisme mekanis. Perubahan sosial yang diawali dari hal-hal kecil menjadi signifikan sebab dominasi dan hegemoni juga merasuk hingga ke hal-hal subtil semacam pembagian kerja, relasi seksualitas, gaya hidup dan hal-hal remeh lainnya.

Ketujuh, adanya hubungan yang dialektis antara agen dan struktur sosial. Walaupun struktur sosial dapat mengkondisikan perilaku sosial kita, tetapi pengetahuan mengenai struktur sosial dapat menjadi potensi kreatif dalam mematahkan dominasi.

Kedelapan, dengan mengakui hubungan yang kompleks dan dialektis antara kehidupan sehari-hari dengan struktur sosial skala besar, Muhammadiyah meyakini bahwa jalan untuk mencapai tujuan akhir yakni “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” tidaklah linear dan merupakan proses tiada henti. “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” merupakan utopia yang dibangun oleh Muhammaiyah, dan setiap langkah yang dilakukan menuju utopia tersebut akan direfleksikan ulang secara kritis agar lahir langkah yang lebih baik dan efektif. Usaha menuju utopia juga tidak boleh sama sekali membuka peluang sedikit pun yang mengorbankan hak-hak, kebebasan mendasar , fitrah ataupun hidup manusia. Muhammadiyah harus meyakini bahwa setiap manusia adalah khalifah, bertanggung jawab atas kebebasannya sendiri dan tidak melakukan penindasan ataupun penaklukan bagaimanapun bentuknya terhadap sesama atas nama tujuan, utopia atau kebebasan jangka panjang.
 

Kebebasan adalah kondisi optimal yang paling fitrah dimana manusia mampu mengaktualisasikan secara maksimal segala bentuk potensi kemanusiaannya menuju kemuliaan ilahiah. Muhammadiyah dalam menuntun umat dan menjadi tauladan bagi umat manusia, tidak membenarkan adanya kediktatoran elit terhadap orang banyak. Ini juga terlihat jelas dalam sejarah Muhammad SAW. dimana beliau tidak pernah menjadi Nabi dengan tangan besi.

Prinsip-prinsip kritisisme ideologi Muhammadiyah yang mempunyai dua aras di atas (aras pertama berhubungan secara timbal balik dengan al-turats dan yang kedua dengan realitas sosial) akan menjadi signifikan jika diturunkan menjadi metodologi gerakan. Metodologi gerakan adalah jembatan yang menghubungkan prinsip-prinsip di atas dengan realitas konkret.

* Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/islam-berkemajuan-prinsip-kritisisme-dalam-ideologi-muhammadiyah