Saturday, April 26, 2014

Kesalehan Konstitusional

Ahmad-Norma Permata ; Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah 
REPUBLIKA, 26 April 2013
Di tengah karut-marut dinamika politik dan kekuasaan yang menghiasi media publik, proses demokratisasi di Indonesia sebenarnya sedang memasuki babak-babak baru yang penuh harapan. Paling tidak ada dua kasus utama yang menjadi contoh. 
Pertama, amendemen UU No 22/2001 tentang Migas dan penghentian RUU Ormas yang keduanya didesakkan oleh kelompok civil society, terutama ormas besar Islam, seperti Muhammadiyah dan NU. Kedua, pengadilan terhadap Irjen Pol Djoko Susilo dalam kasus korupsi Simulator SIM yang dilakukan oleh KPK. 
Dua kasus ini menjadi indikator proses politik yang melibatkan kepentingan aktor-aktor kakap. Fakta bahwa kasus ini bisa berproses tanpa dibarengi dengan insiden-insiden serangan balik dari kekuatan-kekuatan politik yang dirugikan oleh proses hukum di atas, menunjukkan bahwa aktor-aktor politik utama sudah mulai menerima mekanisme konstitusional sebagai arena perebutan kepentingan.
Kesediaan aktor-aktor politik utama mengikuti aturan main konstitusional memiliki konsekuensi besar bagi perkembangan demokrasi di negeri ini.

Dalam ranah politik, kekuasaan konstitusionalisme akan menjauhkan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dalam perebutan kepentingan, yang pa da akhirnya hanya akan merugikan ketenteraman dan kehidupan masyarakat. 
Sementara dalam hubungan elite dan massa, impersonalitas interaksi politik akan mendorong elite untuk memobilisasi dukungan politik melalui layanan-layanan publik yang bermanfaat untuk umum ketimbang transaksi personal- kliental dengan kelompok-kelompok tertentu dan politik uang. 
Memang proses masih panjang dan banyak hal harus dilalui, tapi terang sudah terlihat di ujung jalan.
Mengemukanya konstitusionalisme dalam panggung politik kekuasaan menjadi harapan sekaligus tantangan baru bagi komponen bangsa Indonesia untuk merumuskan nilai-nilai kebaikan publik berbasis konstitusi. Selama ini, publik sudah mengenal istilah `kesalehan sosial'. 
Pada tahap sekarang, bangsa Indonesia sudah waktunya merumuskan sebuah `kesalehan konstitusional', yaitu etika atau moralisme religius yang berbasis aturan main politik yang memengaruhi kebaikan kehidupan bersama. Sementara ini istilah kesalehan konstitusional digunakan untuk mendorong sikap keberagamaan yang selaras dengan nilai-nilai konstitusi.
Pemahaman seperti ini tidak tepat karena dalam banyak situasi tafsir konstitusi berada di tangan penguasa sehingga pemahaman seperti ini berkonotasi ketaatan, ketimbang kesalehan konstitusional. Kesalehan konstitusional mensyaratkan adanya kesetaraan posisi antarberbagai komponen politik dalam mengartikan konstitusi sebagai aturan dasar kehidupan berbangsa.
Dalam tradisi pemikiran Barat, gagasan ini dekat dengan konsep pemikiran filsuf Prancis JJ Rousseau tentang agama sipil (civil religion), yaitu dimensi moralitas dari kehidupan publik sebagai wujud dari kontrak sosial, yang dilawankan dengan religion of man (agama sebagai ranah personal), religion of community (agama sebagai identitas komunal), dan religion of the priests (spiritualitas yang menafikan kepentingan duniawi). Bagi Rousseau, negara merupakan wujud dari kesepakatan bersama sebuah bangsa dan merepresentasikan kebaikan bersama. 
Dalam perkembangannya, istilah civil religion ini ditafsir ulang oleh sosiolog Amerika Robert N Bellah yang memaknai istilah ini sebagai nurani publik yang menyelaraskan nilai-nilai moralitas yang berbasis nilai-nilai ketuhanan dengan kebaikan publik yang berbasis dinamika politik-kekuasaan. Bellah menempatkan konsep civil religion sebagai tahap terakhir evolusi moralitas-keagamaan.
Dalam khazanah pemikiran Islam, gagasan kesalehan konstitusional dapat dilacak pada pemikiran politik Ibnu Taimiyah, yang menekankan kesatuan fungsi dan tugas antara penguasa (imam dan amir) dan komunitas (ummah, jama'ah) dalam menegakkan syariah Islam yang sempurna dalam konteks kehidupan masyarakat yang jauh dari kesempurnaan. Ibnu Taimiyah sendiri menolak gagasan khilafah atau kekuasaan yang memadukan otoritas politik dan agama. Karena, menurutnya, hal tersebut hanya terjadi pada zaman Nabi dan empat pelanjutnya (dan karenanya Ibnu Taimiyah menolak istilah Khulafa Ar-Rasyidun dan memilih Khilafah an-Nubuwah). 
Di masa setelah itu, menurut Ibnu Taimiyah, tidak ada lagi jaminan kebenaran yang bersifat transendental dan umat Islam-penguasa maupun masyarakat-harus bekerja secara resipr kal: Penguasa menegakkan keadilan, ketenteraman, dan kemakmuran publik, masyarakat menaati aturan dan mengkritik penguasa jika menyimpang dari aturan. Menariknya, Ibnu Taimiyah memahami konsep keadilan dalam bahasa objektif dengan kemakmuran (yaitu pemenuhan kebutuhan kehidupan publik) sebagai indikatornya dan terlepas dari predikat primordial penguasanya. Penguasa yang adil akan dilindungi Tuhan meskipun ia non-Muslim dan penguasa lalim tidak akan mendapat lindungan Tuhan, meskipun ia Muslim. 
Dengan demikian, belakangan muncul kajian yang menyamakan logika politiknya dengan gagasan Max Weber tentang Verantwortungsethiek atau etika politik yang diukur dari hasil dan bukan cara, dan bahkan dengan gagasan kontemporer tentang good governance (Johansen, 2002).
Dengan demikian, kesalehan konstitusional tidak bertentangan dengan kesalehan religius karena keduanya berakar pada kesadaran akan kewajiban mewujudkan kebaikan bersama. Kesalehan konstitusional juga tidak bisa dimaknai sekadar sebagai ketundukan pada aturan negara, termasuk konstitusi. Istilah tersebut juga merujuk pada hak publik untuk juga menafsir dan mengisi makna pada konstitusi, dengan ukuran-ukuran kondisi publik yang objektif: stabilitas sosial, kesejahteraan ekonomi, kemajuan pendidikan, ilmu dan teknologi, serta kelestarian lingkungan.

Wednesday, April 23, 2014

Anak Zina, Solusi MK, dan Tarjih

Nadjib Hamid, Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim dan Mahasiswa S-3 Hukum Islam
IAIN Sunan Ampel
SUMBER : JAWA POS, 23 April 2012

POLEMIK memanas setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya. Syaratnya, hubungan darah itu dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum.

Keputusan yang didukung para pegiat perlindungan hak anak itu ditampik sebagian tokoh Islam. Majelis Ula­ma Indonesia (MUI), misalnya, menilai putusan MK telah membuka peluang bagi berkembangnya perzinaan dan ''merusak'' tatanan hukum Islam, terutama urusan warisan.

Mimbar salat Jumat pun digunakan khatib untuk mengecam putusan terobosan itu. Lontaran di atas mimbar Jumat yang monolog tentu tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa-bisa meresahkan tanpa solusi. Maka, kemarin (22/4) Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur melakukan kajian ilmiah.

Perlu diingat lagi, hukum Islam dalam fikih bukanlah hukum yang statis. Dinamikanya terjadi seiring dengan perkem­bangan masyarakat. Ada kaidah fikih: al hukmu yaduru maal illah wujudan wa adaman (keberlakuan suatu aturan atau hukum terkait dengan ada atau tidaknya alasan). Hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan illatul hukmi (sebab hukum)-nya.

Fikih memang merupakan produk intelektual. Yakni, usaha manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syariah secara sistematis sesuai dengan situasi sosial yang berkembang.

Dalam konteks status dan hak anak di luar nikah, fikih klasik secara tegas menyatakan hanya ada hubungan perdata dengan ibu dan keluarga pihak ibu karena faktanya si anak dikandung oleh si ibu tersebut. Hal itu didasarkan pada Hadis Rasulullah SAW bahwa al-waladu lilfirasy. Sedangkan dengan bapak, tidak ada hubungan karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia anaknya, tidak ada akad nikah.

Implikasi dari ketentuan itu sangatlah berat dirasakan bagi para perempuan dan anak yang dilahirkan bila tan­pa ikatan nikah. Mereka selama ini tidak bisa menuntut hak apa pun di pengadilan, lebih-lebih si anak. Ada yang bilang, itu akibat perbuatan yang dilakukan suka sama suka.

Tapi, terhadap anak? Mereka tidak pernah berkehendak lahir menjadi anak zina atau sejenisnya. Tapi, dalam praktiknya, anak-anak hasil perzinaan sulit memperoleh hak-hak perdatanya. Mau sekolah susah, mau menikah susah, mau apa saja yang memerlukan administrasi kependudukan tidak mudah. Mereka dipaksa menanggung beban dosa orang tuanya. Padahal, dalam Islam tidak ada doktrin dosa warisan. Anak itu dilahirkan suci (fitrah). Setiap orang hanya dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan dan tidak dibebani dosa orang lain (QS: Al Najm 38-39).

Karena itu, demi rasa keadilan dan seiring dengan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), kini para ulama perlu mereaktualisasi (meminjam istilah Munawir Sjadzali) ketentuan fikih klasik tersebut. Problem sekarang lebih kompleks. Hubungan nasab seorang anak dengan ibunya ditantang adanya fenomena ibu pengganti (surrogate mother). Dia memang mengandung, tapi titipan dari ovum wanita lain. Tantangan lain, kini iptek dapat menentukan secara pasti hubungan nasab antara anak dan bapaknya melalui tes deoxyribonucleic acid (DNA).

Saya sependapat dengan KH Mu'ammal Hamidy dan Dr Saad Ibrahim MA. Menurut wakil ketua PWM Jatim tersebut, bahwa sejalan dengan prinsip: hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan, hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui tes DNA. Konsekuensi itu, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya.

Argumennya, akurasi tes DNA sangat tinggi sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, bahkan jika dibanding dengan didasarkan atas adanya akad nikah. Termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar karena ibunya itulah yang mengandung dalam kasus ibu pengganti.

Diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dan bapaknya akan memberikan jaminan pasti bagi anak tersebut. Baik itu yang berkaitan dengan kepastian nasab maupun dengan hak-haknya yang lain.

Tak kalah penting, hukum mutakhir ini akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri. Jika tidak mau memenuhi kewajiban, si bapak dapat digugat di pengadilan. Dengan digugat, aibnya diketahui publik. Itu merupakan hukuman sosial yang berat bagi para lelaki yang tidak bertanggung jawab.

Tentang kekhawatiran akan tumbuh suburkan perzinaan, para lelaki calon pelaku akan berpikir panjang karena kelak harus bertanggung jawab kalau sampai lahir bayi. Digugat dan diungkap di pengadilan merupakan ''hukuman'' tersendiri. Apalagi, gugatan itu datang ketika mereka sudah tua.

Majelis Tarjih pun akhirnya memutuskan bahwa anak zina atau anak yang lahir di luar nikah, sepanjang ada hubungan darah yang dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum, adalah anak yang sah. Keputusan itu sejalan dengan putusan MK.

Seperti kata Mahfud M.D., putusan MK sesuai dengan prinsip universal perlindungan atas hak asasi manusia. Dia juga yakin, putusan itu sesuai dengan semangat ajaran Islam. Jadi, tak perlu grogi dengan beda pendapat. Allahu a'lam.

Saturday, April 12, 2014

Tafsir Sosial Ideologi Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah: Telaah terhadap Fenomena Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Jurnal Salam, Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009:  31-43
Biyanto
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya

Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November 1912. Menurut Deliar Noer (1996: 84), perihal pendirian Muhammadiyah adalah atas saran yang diajukan oleh murid Ahmad Dahlan dan beberapa anggota Budi Utomo dengan harapan agar dapat mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Bahkan untuk urusan proses permintaan pengakuan kepada kepala pemerintahan sebagai badan hukum pun diusahakan oleh pimpinan Budi Utomo.

Sebagai salah satu organisasi terbesar di tanah air, Muhammadiyah sangat menekankan amal usaha di bidang kesejahteraan sosial sehingga dipandang sebagai representasi aliran reformis dan modernis (Clifford Geertz, 1960; Alfian, 1989). Pengertian dari kedua istilah tersebut menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang secara terus-menerus bertujuan memelihara bagian dari masa lampau, menjustifikasi masa kini, dan melegitimasi masa depan, sehingga dapat menciptakan kaitan antara yang lama dan yang baru. Kaum reformis mempercayai bahwa mereka dapat hidup di dunia modern tanpa meninggalkan prinsip ajaran agama. Achmad Jainuri (2002: 4-5) menyatakan bahwa dalam rangka menjustifikasi paradigma ini Muhammadiyah sangat percaya bahwa sumber-sumber fundamental Islam dapat diterjemahkan dalam realitas konkrit kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi, dan politik kaum Muslim Indonesia.

Dalam perkembangannya, Muhammadiyah selain menampilkan citra sebagai organisasi modern dengan segudang kesusksesan juga menuai kritik tajam. Ironinya salah satu kritik tersebut justru muncul dari kalangan anak muda Muhammadiyah. Salah satu kelompok yang mengkritik adalah aktivis Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). JIMM tentu memiliki argumen perihal ketidakcocokkannya dengan faham keagamaan yang dikembangkan Muhammadiyah. Akibatnya, mereka pun lebih memilih bergerak di jalur kultural. Maka, menarik dicermati bagaimana ideologi keagamaan JIMM dan latar belakang kemunculannya. Berkisar pada persoalan inilah tulisan ini mencoba memberikan tafsir sosial terhadap fenomena kehadiran JIMM.

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/442

Thursday, April 3, 2014

Muhammadiyah dan pilpres 2014

Koran SINDO, Sabtu,  29 Maret 2014
MA’MUN MUROD AL-BARBASY

PADA 2014 disebut sebagai “tahun politik”. Tahun ini dua perhelatan politik lima tahunan, pemilu legislatif dan pemilihan presiden, akan dilangsungkan.

Lazimnya perhelatan politik, kontestan atau kandidat akan berusaha memperbanyak dan memperlebar sayap dukungan politik. Modusnya pun beragam, dari mulai yang bersifat personal dengan mendatangi tokoh-tokoh tertentu maupun yang bersifat institusional dengan mendatangi ormas-ormas tertentu.

Meskipun posisi Muhammadiyah sangat jelas yaitu sebagai gerakan Islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Alquran dan As-Sunnah (baca Anggaran Dasar Pasal 4 Ayat 1) yang sudah tentu tidak mempunyai keterkaitan dengan kekuatan politik mana pun, faktanya ketika datang “musim politik” selalu saja ada yang berusaha menyeret masuk atau setidaknya mencoba menghimpitkan Muhammadiyah dengan salahsatu kontestan atau kandidat politik tertentu.

Posisi politik Muhammadiyah
Dalam rumusan Khitah Perjuangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ditegaskan bahwa “Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan memengaruhi prosesdankebijakannegara agar tetap berjalan sesuai konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.

Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.” “Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi mana pun.

Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.”

Rumusan khitah tersebut secara jelas (idzhar) menegaskan tentang posisi politik Muhammadiyah, di mana politik lebih dimaknai sebagai bentuk kegiatan kemasyarakatan yangbersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatankegiatan politik tidak langsung (high politics) yangbersifat memengaruhikebijakannegara dengan perjuangan moral (moral force).

Istikamah berkhitah dan kasus “Imam Salat”
Rumusan khitah di atas membawa konsekuensi pada keharusan sikap dan posisi politik Muhammadiyah untuk tetap istikamah dan sejalan dengan khitah tersebut. Pengertian istikamah di sini tentu harus dimaknai secara dinamis sejalan perkembangan dan dinamika politik yang terjadi dan langgam kepemimpinan di perserikatan yang tidak selalu sama dalam setiap periode kepemimpinan.

Menelaah kepemimpinan Muhammadiyah pasca-Orde Baru, akan didapati perbedaan langgam kepemimpinan dalam relasinya dengan partai politik. Era Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii, 1998-2005) langgam yang ditampilkan adalah “menjaga jarak yang sama” (keep close) dengan semua partai politik. Sementara di era Din Syamsuddin (Bang Din, 2005-2015) langgam yang ditampilkan adalah“menjaga kedekatan yang sama” (keep distance) dengan semua partai politik.

Dua langgam ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh pribadi Buya Syafii maupun Bang Din. Bila langgam pertama lebih menggambarkan “kekakuan” (rigid) Muhammadiyah dalam menjalin relasi dengan partai politik, langgam kedua lebih menggambarkan relasi yang lebih “lunak” (soft). Buya Syafii adalah sosok pribadi yang sebelumnya tidak pernah berkecimpung sama sekali di dunia politik kepartaian sehingga wajar bila langgam yang ditampilkannya terkesan lebih “kaku”.

Sementara Bang Din sebelum menjadi ketua umum Muhammadiyah sempat aktif di Golkar— saat itu (Orde Baru) masih menyebut dirinya orsospol dan belum menjadi partai politik sehingga wajar pula ketika langgamnya tampak lebih “lunak” dan lebih realistis dalam menjalin relasi dengan partai politik. Konsekuensi dari langgam “menjaga kedekatan yang sama”, Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar istikamah menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik, termasuk kandidat-kandidat calon presiden (capres).

Muhammadiyah tidak boleh menunjukkan keberpihakan kepada kandidat tertentu ketika keberpihakan tersebut semata dilandasi kepentingan politik yang bersifat pragmatis misalnya sekadar berharap ada kader Muhammadiyah yang akan dipinang menjadi pasangan capres tertentu. Pragmatisme itu wilayahnya partai politik dan Muhammadiyah itu bukan partai politik sehingga tidak tepat bila Muhammadiyah terperangkap pada politik dukung mendukung yang bersifat pragmatis.

Kalaupun misalnya Muhammadiyah akan mendukung kandidat capres tertentu, cara yang ditempuhnya harus tetap elok. Begitu juga kalau misalnya ada kader Muhammadiyah yang layak dan menjadi “rebutan” beberapa capres, pilihan untuk mendampingi capres tertentu pun harus tetap didasarkan pada nilai-nilai idealitas.

Capres yang akan dipilih bukan hanya karena pertimbangan popularitasnya, melainkan harus mendasarkan pada visinya. Karena acuannya adalah khitah dan nilai-nilai idealitas politik, menjadi kurang elok ketika misalnya Muhammadiyah menerima capres tertentu dan memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk menjadi imam salat( meskipun hanya imam salat zuhur yang bacaan imamnya sirri).

Merujuk pada kebiasaan Rasul Muhammad saat sakitnya, yang kerap memberikan kesempatan kepada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam salat, yang kemudian ditafsir oleh umat Islam saat itu sebagai “sinyal dukungan” bahwa estafet kepemimpinan umat Islam pasca-Rasul akan jatuh ke tangan Abu Bakar–– dan dalam perjalanan sejarahnya memang terbukti, pemberian kesempatan untuk menjadi imam salat tentu akan ditafsir sebagai bentuk “sinyal dukungan” yang bersifat simbolik dari Muhammadiyah kepada capres bersangkutan.

Padahal bila menengok fikih salat terkait persyaratan ideal untuk menjadi imam salat, tidaklah gampang: harus orang yang paling baik bacaannya (aqra’uhun), orang yang paling wara’ atau mampu menjaga diri dari hal yang bersifat syubhat sekalipun, dan orang yang paling tua usianya. Bagi Abu Bakar, untuk memenuhi persyaratan tersebut tentu bukanlah sesuatu yang sulit.

Kasus “imam salat” ini sedikitnya telah mencederai posisi politik Muhammadiyah. Secara simbolik, kasus “imam salat” ini juga bisa ditafsir sebagai bentuk kegenitan atau keinginan dari Muhammadiyah untuk mengambil peran-peran politik yang bersifat praktis dan pragmatis.

Kalau Muhammadiyah sampai jatuh pada kubangan pragmatisme politik, lantas apa bedanya dengan partai politik. Tentu ini kemunduran, untuk tidak mengatakan kemerosotan Muhammadiyah dalam berpolitik. Wallahualam.

MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

http://nasional.sindonews.com/read/2014/03/29/18/848783/muhammadiyah-dan-pilpres-2014