Friday, June 27, 2014

Muhammadiyah dan Pemilihan Presiden

Pendapat, Koran Tempo, Kamis, 26 Juni 2014

Oleh Benni Setiawan

Pemilihan presiden 9 Juli sudah semakin dekat. Black campaign (kampanye hitam) muncul bertubi-tubi. Bahkan, Muhammadiyah, sebagai organisasi massa Islam, pun ikut terseret sebagai korban dalam arus kampanye hitam ini. Hal itu menunjukkan secara gamblang bahwa kebangsaan kita semakin pudar dan rapuh. Kebangsaan kita jauh dari semangat Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai organisasi yang lebih tua dari umur Republik, Muhammadiyah terpanggil untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pidato milad Muhammadiyah ke-101, tertulis, "Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa kenegarawanan yang utama."

Pidato tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan. Muhammadiyah, sebagai bagian dari civil society, perlu mengingatkan calon presiden. Bahwasanya mereka dipilih untuk menjadi pemimpin. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisah jika tidak mampu bekerja optimal. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna memakmurkan bangsa, dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.

Karena itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan dari kepemimpinan A.R. Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol dai ikhlas, bersahaja, dan tawaduk.

Ia pun senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian, Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.

Lebih lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata tanpa ucapan, kebangsaan akan runtuh. Bangsa ini harus diselamatkan dari proses kepemimpinan yang rapuh. Pasalnya, jika bangsa dan negara ini ambruk, Muhammadiyah pun akan roboh.

Karena itu, Muhammadiyah tidak dalam posisi mendukung atau menolak seorang capres. Sikap itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah dalam pemilihan presiden 2014 ingin membangun politik berperadaban. Politik adiluhung sebagai pengejawantahan sikap dan konsistensi Muhammadiyah dalam membangun kebangsaan.

Kelompok-kelompok seperti Surya Madani Indonesia (SMI) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Relawan Mentari Indonesia (RMI) yang mendukung pasangan Jokowi-JK, tidak bertindak atas nama Muhammadiyah. Mereka adalah simpatisan yang kebetulan terbangun dari jejaring aktivis Persyarikatan. Jadi, tak ada hubungan struktural dengan Persyarikatan.

Muhammadiyah memposisikan diri sebagai bapak bangsa, pengayom semua capres. Sikap ini bukan cara Muhammadiyah mencari selamat atau bermain di dua kaki. Muhammadiyah tetaplah organisasi besar yang tak tergiur bermain di arena politik. Khitah sebagai organisasi massa Islam amar makruf nahi mungkar lebih berharga daripada sekadar turut serta dalam hiruk-pikuk politik. *

http://bennisetiawan.blogspot.com/2014/06/muhammadiyah-dan-pemilihan-presiden.html

Wednesday, June 25, 2014

Refleksi Tanwir Muhammadiyah: Pahlawan yang Terlupakan

Lukman Hakiem ;  Ketua PP Persaudaraan Muslimin Indonesia
Sumber :  REPUBLIKA, 25 Juni 2012

Pada 1 Maret 1945, diben tuk Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI) dengan anggota sebanyak 60 orang, plus enam orang anggota tambahan, dan tujuh wakil pemerintah militer Jepang sebagai anggota istimewa. Saat melantik BPUPKI, kepala pemerintahan militer Jepang di Indonesia (saikoo sikikan) melemparkan pertanyaan penting kepada BPUPKI soal dasar negara Indonesia.
Menurut saikoo sikikan, mendirikan negara merdeka bukanlah usaha mudah, lebih-lebih jika tidak mempelajari, menyelidiki, dan merencanakan dengan saksama segala usaha untuk meneguhkan kekuatan pertahanan dan dasar negara. Menjelang detik-detik kemerdekaan Indonesia, tentara pendudukan Jepang membagi anggota BPUPKI menjadi lima golongan, yakni pergerakan, Islam, birokrat (kepala-kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, dan wali kota), serta minoritas (peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab).
Dengan penggolongan itu, terdapat 12 orang yang mewakili golongan Islam.
Mereka adalah Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim, dan Dr Soekiman Wirjosandjojo (Syarikat Islam), KH Ahmad Sanoesi (al-Ittihadiyat al-Islamiyah), KH Abdoel Halim (Perserikatan Umat Islam), Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH Mas Mansoer, dan KH Abdoel Kahar Moezakir (Muhammadiyah), KH Masjkoer dan KH A Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama), AR Baswedan (Partai Arab Indonesia), dan KH A Fatah Hasan (lulusan Al-Azhar, Mesir). Mereka inilah yang gigih berjuang agar dasar negara Indonesia tidak menutup diri terhadap “intervensi“ wahyu.
Saat dibentuk panitia kecil BPUPKI yang terdiri atas delapan anggota (disebut dengan panitia delapan), Ki Bagoes Hadikoesoemo dipilih menjadi salah seorang anggotanya. Tugas panitia ini mengumpulkan saran dan usul para anggota yang akan dibahas dalam sidang pada Juli 1945. Panitia delapan mencatat tujuh usul mengenai dasar negara Indonesia. Dan, usulan yang terbanyak adalah ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Karena itu, tidak mengejutkan jika dalam rumusan Preambule hasil panitia sembilan (pengganti panitia delapan) tertanggal 22 Juni 1945 (yang dikenal sebagai Piagam Jakarta), “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,“ menjadi dasar yang pertama dari susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Rancangan ini dalam rapat BPUPKI pada 16 Juli 1945, diterima dengan suara bulat sebagai dasar negara dan batang tubuh UUD.
Di panitia sembilan, ada kader Muhammadiyah, KH A Kahar Moezakir.
Hanya, sampai sekarang dokumen perdebatan di panitia sembilan belum ditemukan. Usai sidang pada 16 Juli 1945, keberadaan BPUPKI digantikan dengan PPKI yang beranggotakan 27 orang. Di PPKI, empat anggota berasal dari Islam, yakni Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH A Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah), dan Mr TM Hasan (Ikhwanus Safa Indonesia).
PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945 baru bersidang pada 18 Agustus 1945. Situasi pada pagi 18 Agustus itu sungguh sangat krusial karena muncul keinginan untuk menghapus `tujuh kata' yang sebelumnya telah diterima bulat.
Menurut Prawoto Mangkusasmito, pada rapat 18 Agustus itu, beban berat diletakkan di bahu kader Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo. Sebab, Wahid Hasjim masih dalam perjalanan dari Jawa Timur. Sementara, Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan belum mendalami persoalan. Seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penetapan UUD diletakkan di pundak Ki Bagoes sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI.
Tidak mudah meyakinkan Ki Bagoes untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule UUD. Sesudah Bung Hatta gagal meyakinkan Ki Bagoes, dia meminta TM Hasan untuk melobi Ki Bagoes. Hasan ternyata juga tidak mampu melunakkan hati Ki Bagoes. Saat situasi kritis itu, Hatta meminta Kasman membujuk Ki Bagoes. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus, Kasman melobi Ki Bagoes. Kasman mengingatkan Ki Bagoes, karena kemerdekaan sudah diproklamasikan maka UUD harus cepat ditetapkan. Apalagi, posisi Indonesia terjepit karena masih adanya tentara Jepang dan sekutu.
Kasman bertanya kepada Ki Bagoes, apakah tidak bijaksana jika kita sebagai umat Islam yang mayoritas `mengalah' dengan menghapus tujuh kata itu demi kemenangan bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diridai Allah.
Ki Bagoes dapat menerima argumen Kasman dan setuju, “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“, dihapus dan diganti dengan kalimat “ketuhanan Yang Maha Esa“. Bersamaan dengan itu, Ki Bagoes meminta supaya anak kalimat “menurut dasar“ di dalam Preambule UUD dihapus sehingga penulisannya dalam Preambule UUD menjadi “.... Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya.“
Pada saat-saat kritis dalam proses penetapan konstitusi negara, terbukti tiga tokoh Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kahar Moezakir, dan Kasman Singodimedjo, telah menorehkan peranan signifikan. Anehnya, sampai hari ini pemerintah belum mengakui ketiga tokoh ini sebagai pahlawan nasional.
Yang lebih mengenaskan adalah Kasman Singodimedjo. Pada 12 Agustus 1992, ketika Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada sejumlah mantan anggota BPUPKI dan PPKI, Kasman Singodimedjo dilewatkan. Tidak syak lagi, ini pastilah karena sikap kritis Kasman kepada pemerintahan Orde Baru, terutama keikutsertaannya dalam Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50).
Dengan jasa mereka yang begitu besar, ditambah kesaksian Jenderal Nasution yang amat objektif terhadap Kasman Singodimedjo, belum layakkah Ki Bagoes, Pak Kahar, dan Pak Kasman ditetapkan menjadi pahlawan nasional? 

Monday, June 9, 2014

Keteguhan Politik Muhammadiyah

Detiknews, Senin, 09/06/2014 19:43 WIB

Raja Juli Antoni

Tulisan Djoko Susilo, mantan anggota DPR RI dari Fraksi PAN, di Jawa Pos (27/5/2014) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Artikel yang bertajuk Kegamangan Politik Warga Muhammadiyah ini mempersoalkan keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah beberapa minggu lalu yang memutuskan netralitas Muhammadiyah pada pilpres 9 Juli nanti.

Sebenarnya artikel Djoko tidak memiliki basis analisa yang cukup untuk menyimpulkan bahwa warga Muhammadiyah gamang dalam mengambil keputusan politik. Namun tulisan tersebut berpotensi melahirkan 'sesat pikir' baik di kalangan internal maupun eksternal Muhammadiyah.

Djoko mengajukan dua bukti untuk menopang analisanya. Pertama, sikap ketua umum PP Pemuda Muhamadiyah, Saleh Daulay, yang secara terbuka mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Kedua, sikap Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah yang dianggap memiliki kepentingan pribadi yang dalam konteks pilpres 'memaksakan' sikap netral Muhammadiyah sebagai wujud ketidaksukaan politik (personal) terhadap Hatta Rajasa, ketua umum PAN yang juga besan presiden SBY. Secara implisit Djoko menganjurkan Muhammadiyah mendukung pasangan Prabowo-Hatta.

Secara historis Muhammadiyah memang pernah terlibat sebagai anggota istimewa Masyumi. Pengalaman 'pahit' berpolitik secara institusional pada era Masyumi acap digambarkan sebagai gangguan serius terhadap fokus Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan sosial. Sebagai bentuk 'pertobatan', Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang memutuskan dan menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Dakwah Islam yang begerak dalam bidang sosial-kemasyarakatan yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak memiliki afiliasi dengan partai politik dan organisasi apa pun.

"Khittah Ujung Pandang" ini diafirmasi oleh beberapa keputusan organisasi lainnya seperti keputusan Muktamar Muhammadiyah 1978 di Surabaya. Muktamar itu kembali memberikan kebebasan kepada anggota persyarikatan untuk bergabung dengan partai politik sebagai keputusan personal dan bukan institutional.

Sikap Saleh Daulay yang berusaha menyeret Pemuda Muhammadiyah secara organisatoris untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta tentu tidak bisa dijadikan alasan kegamangan politik Muhammadiyah. Nampaknya penghayatan Saleh terhadap prinsip-prinsip dasar ber-Muhammadiyah patut dipertanyakan.

Kedua, Muhammadiyah mempunyai tradisi leadership yang sudah mapan. Muhammadiyah menganut kepemimpinan kolektif dan kolegial. Dari Muktamar di tingkat nasional sampai Musyawarah Ranting di tingkat struktur kepemimpinan paling bawah, Muhammadiyah tidak pernah memilih ketua umum secara langsung.

Sebaliknya, permusyawaratan hanya memilih tiga belas orang formatur yang bertugas menentukan struktur kepemimpinan termasuk siapa yang menjadi ketua umum. Ketua umum dalam kepemimpinan kolektif-kolegial tidaklah memegang peran sentral seperti dalam tradisi kepemimpinan partai politik di Indonesia. Dalam konteks ini, menyimpulkan sikap netral Muhammadiyah pada pilpres sebagai 'permainan' Din Syamsuddin merupakan anggapan yang tidak tepat.

Tanwir di Samarinda justru mempertontonkan keteguhan politik Muhammadiyah dalam menjaga jarak yang sama dengan politik (politics disengagement). Intervensi dan lobi untuk mengarahkan peserta untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta, menurut banyak saksi mata, sangat terasa di arena sidang.

Tidak kurang tokoh sesenior Muhammad Amien Rais 'turun gunung' untuk mempengaruhi suasana Tanwir. Menurut salah seorang Ketua PP Muhammadiyah, Amien yang menjagokan Prabowo-Hatta, meminta para peserta untuk duduk ketika mereka secara spontan berdiri guna menghormati Jokowi sebagai tamu memasuki ruang sidang. Menurut beberapa saksi mata pula, setelah Jokowi berpidato, dalam riungan peserta Amien mengatakan bahwa pidato Jokowi layaknya seperti vis-misi calon bupati/walikota.

Sebaliknya, ketika Prabowo berada di ruang sidang, Amien berteriak 'Hidup Prabowo' dan kemudian mendadak seolah-olah menjadi dirigen yang memimpin lagu 'Prabowo Siapa yang Punya.” (Tempo 25/5/2014). Beberapa kawan yang berada di ruang sidang juga menyaksikan simpatisan Prabowo yang buka anggota Tanwir yang memulai teriakan takbir ketika Prabowo memasuki ruang sidang (Detik.com 24/5/2014).

Di sinilah bukti keteguhan ideologi Muhammadiyah menghadapi godaan politik murahan (low politics) sebagai lawan dari politik adiluhung (high politics) yang dianut Muhammadiyah. Setiap peserta Tanwir hampir dipastikan mempunyai preferensi politik tertentu. Tapi mereka tidak memaksakan untuk voting guna mendukung capres dambaan mereka. Tidak kurang, Hasyim Muzadi, mantan ketua Umum PB NU, mengapresiasi sikap netralitas Muhammadiyah dan berharap NU mencontoh keteguhan sikap poltik tersebut (Republika 25/5/2014).

Pilihan netral Muhammadiyah pada pilpres kali ini, selain menjalankan 'Khittah Perjuangan', juga memiliki dua kepentingan taktis-strategis jangka pendek.

Pertama, netralitas ini menjaga soliditas kader Muhammadiyah yang tersebar di berbagai partai politik yang memiliki pilihan capres masing-masing. Tidak kurang, misalkan, Imam Ad-Daruqutni dan Muhammad Izzul Muslimin, kedua-duanya mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah, tergabung dalam tim sukses resmi Jokowi-JK yang didaftarkan ke KPU. Pasti ada beberapa nama kader Muhammadiyah, selain Amien Rais, yang menjadi tim sukses resmi Prabowo-Hatta.

Survei LSI terbaru menunjukan Muhammadiyah memang bukan ormas yang monolitik. Menurut LSI, pada saat survei dilakukan, 27,44% anggota Muhammadiyah memilih Jokowi-JK, sebanyak 31,57% memilih Prabowo-Hatta dan 40,99% belum menjatuhkan pilihan (Detik.com 30/5/2014).

Kedua, sikap netralitas ini juga memungkin Muhammadiyah menjadi 'wasit moral' perlombaan pilpres yang semakin kehilangan spirit etisnya. Berbagai isu negatif mengenai agama, kehidupan pribadi (keberadan istri dan anak) serta sederet fitnah yang menyesakkan ruang publik perlu dikritisi. Dengan netralitasnya Muhammadiyah mestinya memiliki moral courage untuk mengembalikan proses pilpres mejadi proses demokrasi untuk melahirkan kepemimpinan berdasarkan visi-misi bukan fitnah dan gosip.

Selamat atas keteguhan sikap politik Muhammadiyah. I love you full!

*) Raja Juli Antoni adalah Mantan Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (2000-2002), Kandidat Doktor di School of Political Science and International RelationsThe University of Queensland, Australia

http://news.detik.com/read/2014/06/09/194319/2603511/103/1/keteguhan-politik-muhammadiyah

Sunday, June 1, 2014

Netralitas Politik Muhammadiyah

Sinar Harapan, 30 Mei 2014
Jeffrie Geovanie

Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah tetap jadi tenda besar, tempat bernaung semua golong

Dalam acara tanwir (permusyawaratan tertinggi setelah muktamar) Muhammadiyah yang digelar di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini, dua calon presiden (capres), Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama diberi kesempatan menyampaikan visi dan misi di hadapan peserta yang terdiri atas pemimpin Muhammadiyah dan organisasi otonom tingkat pusat serta pemimpin wilayah (provinsi) dari seluruh Indonesia.

Dengan mengundang kedua capres, Muhammadiyah ingin menunjukkan kepada publik, organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini berada di posisi netral. Artinya, secara organisasi Muhammadiyah tidak berpihak ke pasangan capres-calon wakil preside (cawapres) mana pun. Netralitas ini dituangkan secara tegas dalam keputusan (hasil) sidang tanwir.

Sebagai organisasi dakwah, Muhammadiyah sebenarnya mempunyai kepentingan untuk “memberi tahu” mana di antara kedua pasangan capres-cawapres yang dianggap lebih baik, setidaknya yang kejahatannya lebih sedikit. Tapi, jika hal itu dilakukan, Muhammadiyah akan dianggap partisan, tidak mengayomi semua golongan. Jadi, sikap netral menjadi pilihan yang tepat.

Muhammadiyah adalah organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang didasarkan kepada khitah yang menjadi salah satu pedoman dalam gerakan politiknya. Secara garis besar, khitah berarti kebijakan strategis.

Dalam kebijakan strategis ditegaskan, dalam menjalankan dakwahnya, Muhammadiyah mengambil dua saluran secara serentak, yakni saluran politik melalui partai politik dan saluran masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan. Karena diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo, khitah ini disebut “Khitah Ponorogo” (Syaifullah, 1997: 233-234).

Ada yang mengartikan khitah politik Muhammadiyah adalah politik etis atau yang sering disebut Amien Rais sebagai politik adiluhung (high politics). Tentu yang dimaksud bukan politik untuk meraih jabatan yang tinggi, tapi politik yang mengacu nilai-nilai luhur, tidak kepada politik praktis yang memburu jabatan-jabatan strategis.

Pada setiap kurun, khitah mengalami penyesuaian-penyesuaian redaksional yang dikorelasikan dengan kebutuhan-kebutuhan faktual. Meskipun demikian, prinsipnya tetap sama, Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, namun tidak alergi terhadap politik karena dalam strategi perjuangan Muhammadiyah, politik merupakan salah satu sarana berdakwah.

Karena fungsinya sebagai sarana berdakwah, perlu segera dicatat, netralitas Muhammadiyah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bukan berarti mendukung golput. Muhammadiyah tetap punya pilihan, namun itu diserahkan ke masing-masing individu. Anggota Muhammadiyah tidak dilarang mendukung pasangan capres-cawapres yang dikehendakinya.

Dengan demikin, netralitas politik Muhammadiyah bisa disebut netralitas aktif. Meskipun netral, tapi tetap aktif memberikan pencerahan kepada siapa pun yang meminta penjelasan, pandangan, dan pertimbangan untuk memilih siapa di antara kedua pasangan capres-cawapres yang dianggap lebih baik.

Pencerahan yang dimaksud biasanya dilakukan tokoh-tokohnya dengan cara isyarat-isyarat tertentu–baik melalui ucapan maupun tindakan—yang tidak terlalu sulit dibaca dan dipahami warga Muhammadiyah yang umumnya terdidik.

Menjelang pilpres kali ini misalnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin pernah menegaskan, Hatta Rajasa–cawapres yang mendampingi capres Prabowo—tidak mewakili Muhammadiyah. Penegasan ini untuk menjawab spekulasi bahwa calon yang diajukan Partai Amanat Nasional (PAN) dianggap identik dengan Muhammadiyah.

Meskipun lahir dari salah satu keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Sermarang pada 1998 dan didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, sebagai partai politik PAN tidak memiliki hubungan yang mengikat dengan Muhammadiyah. Selain karena ada rumusan khitah sebagaimana disebutkan di atas, hubungan Muhammadiyah dengan partai politik (termasuk PAN) lebih banyak dipengaruhi sikap para pemimpinnya.

Keharmonisan hubungan antara pemimpin Muhammadiyah dan pemimpin partai politik sedikit banyak memengaruhi ke arah mana kecenderungan umumnya dukungan warga Muhammadiyah.

Seperti pada partai politik, dukungan terhadap capres-cawapres juga akan memiliki pola yang relatif sama, sedikit banyak dipengaruhi hubungan pemimpin Muhammadiyah dengan pasangan capres-cawapres yang ada.

Jadi, jika ada pertanyaan, akan diarahkan ke mana dukungan warga Muhammadiyah pada pilpres? Jawabannya akan sangat tergantung siapa yang menjawab. Jawaban itu dianggap mewakili individu.

Jika ada yang mengklaim jawaban itu dengan mengatasnamakan organisasi, jelas merupakan kesalahan fatal karena melanggar khitah perjuangan Muhammadiyah.

Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah akan tetap menjadi tenda besar, tempat bernaung semua golongan, semua kepentingan, yang menjunjung etika agama dan moral politik yang benar. Mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik bukan bagian etika yang benar.

Karena saat kepentingan politik memasuki ranah agama, akan muncul pertikaian antargolongan dan antarkepentingan. Pesan-pesan moral agama yang santun dan menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘alamin) tergerus kepentingan politik praktis.

Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.

http://sinarharapan.co/news/read/140530069/Netralitas-Politik-Muhammadiyah