Thursday, February 9, 2017

Membela Wasathiyya Islam

Koran Sindo, Jum'at, 10 Februari 2017

Ahmad Najib Burhani*

Ketika Azyumardi Azra CBE (2015) menyampaikan pandangannya bahwa Indonesian wasathiyya Islam is too big to fail, beberapa kali saya menegaskan keraguan dan kekhawatiran atas tesis tersebut. Memang, bila dilihat dari respon umat Islam terhdap terorisme, maka Islam moderat sepertinya akan menjadi pemenang. Dan bila dilihat dari wujud dan kuantitas warga NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah, yang sering dianggap sebagai representasi dari Islam wasathiyya, maka keduanya sepertinya akan terus mewarnai pandangan keagamaan di Indonesia pada tahun-tahun mendatang.

Namun bila melihat beberapa fenomena belakangan ini, seperti berbagai aksi intoleransi terhadap minoritas, mudahnya membully secara berjamaah kepada mereka yang berpandangan berbeda, dan terjadinya konflik keagamaan hanya karena persoalan sepele, maka ada kekhawatiran bahwa Islam moderat di Indonesia itu sudah goyah. Tindakan intoleransi, diskriminasi dan bigotry memang bukanlah masuk kategori terorisme, namun itu bisa menjadi awal dari perilaku yang bisa berujung pada terorisme.

Ancaman melemahnya Islam moderat itu juga bisa dilihat dari penyebaran otoritas keagamaan dengan hadirnya da’i dan muballigh instant, infiltrasi pandangan non-wasathiyya ke NU dan Muhammadiyah, masuknya berbagai gerakan keagamaan trans-nasional dengan agenda yang bertentangan dengan semangat untuk hidup dalam masyarakat majemuk, serta instant-learning agama karena media sosial dan teknologi informasi lain. Jika tak sadar dan waspada, maka kegagalan Islam moderat itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Bukan sekarang tentunya, tapi jika tak diantisipasi bisa terjadi pada tahun-tahun yang akan datang.

Kekhawatiran itu seperti semakin mendapatkan peneguhan ketika melihat perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat, Filipina, dan Inggris. Amerika yang selama ini dinggap sebagai pusatnya toleransi dan multikulturalisme ternyata secara mengejutkan memilih presiden (Donald Trump) yang sepertinya anti terhadap prinsip-prinsip yang membuat Amerika seperti sekarang ini. Kemenangan kelompok konservatif sedang menyebar di seluruh dunia, baik itu konservatisme Islam, Kristen, maupun agama lainnya. Inilah yang kemudian membuat tulisan ini ingin menyebut fenomena sekarang ini sebagai the triumph of conservatism (kemenangan konservatisme).

Buya Ahmad Syafii Maarif
Salah satu tantangan nyata terhadap otoritas keagamaan tradisional, yang menjadi fondasi bagi Islam moderat, adalah apa yang dialami oleh Buya Ahmad Syafii Maarif. Tokoh yang sejak kecil belajar agama dalam sistem pendidikan Islam di Minangkabau, dilanjutkan dengan sekolah guru di Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, dan menempuh pendidikan doktoral dalam kajian Islam di Universitas Chicago, tiba-tiba dipertanyakan otoritasnya berbicara agama oleh mereka yang baru kemarin sore belajar Islam. Ini adalah sesuatu yang sangat menggelikan, namun betul-betul terjadi.

Buya Syafii yang selama delapan tahun (1998-2005) dipilih untuk memimpin Muhammadiyah, organisasi modernis terbesar di Indonesia dengan puluhan juta anggota, tiba-tiba dipertanyakan kredibilitasnya dalam memahami Al-Qur’an oleh mereka yang membaca Al-Qur’an pun barangkali belum fasih. Orang-orang yang belajar Islam melalui google, facebook, dan twitter tiba-tiba merasa lebih mengerti Islam daripada imam dari jutaan jamaah Muhammadiyah. Mereka lebih percaya dan menggandrungi kelompok celebrity preachers yang memiliki pengetahuan agama dangkal tapi penampilannya penuh dengan aksesoris dan simbol-simbol agama, atau lebih tepatnya simbol Arab. Mereka bahkan sering menjadikan kelompok “ulama” ini sebagai kiblat dalam beragama.

Fenomena yang dialami oleh Buya Syafii ini oleh Julia Day Howell dianggap sebagai pergeseran otoritas keagamaan dari high-brow (terdidik dan berpengetahuan) ke low-brow (dadakan namun gemerlapan) karena adanya revolusi teknologi informasi, terutama televisi dan media sosial. Yang menjadi daya tarik dari agamawan baru ini bukanlah kedalaman pengetahuan, tapi performance dan entertainment yang didukung oleh media.

Berkaitan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, tentu saja diakui bahwa ia memudahkan manusia dalam memperoleh data, memberikan akses terhadap sesuatu yang sebelumnya hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Namun kelemahannya, seringkali informasi dan data yang kita peroleh sebetulnya hanyalah yang sesuai dengan keinginan kita. Data yang kita peroleh adalah yang sesuai dengan status yang kita buat, info yang kita cari, dan teman yang kita miliki. Intinya, apa yang kita dapat adalah yang sesuai dengan algoritma pikiran kita selama ini. Sehingga, jika teman-teman kita adalah kelompok liberal atau konservatif, maka info yang lebih banyak masuk tentu saja sesuai dengan algoritma itu. Ini yang membuat orang tanpa mengecek dulu siapa Buya Syafii Maarif dengan mudahnya membagi dan retweet meme-meme jahat tentang Buya.

Menghargai Perbedaan
Diantara ciri Islam wasathiyya (Islam moderat) adalah sikap tasamuh (toleransi), tawazun (berimbang), dan I’tidal (adil). Ini, misalnya, diwujudkan dalam mensikapi dan menghargai perbedaan. Imam Syafii, yang menjadi panutan dalam bidang fikih oleh kelompok Muslim moderat, dikenal dengan qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) yang menunjukkan kesedian berubah dan menerima perbedaan jika ada argumen yang lebih kuat.

Mengikuti tradisi ulama, pesantren kita memahami betul semboyan qauluna shahih yahtamilul khata', qauluhum khata' lakin yahtamilul shahih (pandangan kita benar, tapi bisa jadi mengandung kesalahan. Pandangan mereka salah, tapi bisa jadi mengandung kebenaran). Ini adalah refleksi tentang penghargaan terhadap mereka yang berbeda pandangan, termasuk dalam isu-isu yang serius. Tidak main mutlak-mutlakan.

Nilai-nilai moderatisme itu yang belakangan terasa hilang. Karena berbeda pandangan, ada kader Muhammadiyah yang secara kurang tawadhu’ menyebut Buya Syafii bicara “ngelantur”.  Ada pula yang memplesetkan Buya menjadi buaya atau menyebutnya “tua Bangka”, “bau tanah”, dan “sudah mau mati”.

Bahkan banyak sekali kata-kata yang lebih parah dan tidak merefleksikan ajaran Islam tentang bagaimana bersikap terhadap orang tua. Padahal Nabi Muhammad berpesan: laisa minna man lam yarham saghirana walam yuwaqqir kabirana (bukanlah bagian dari umatku mereka yang tak menyayangi yang lebih kecil/ lemah/ minoritas dan mereka yang tak menghormati yang lebih besar/ tua/ mayoritas).
-oo0oo-


*Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah; Peneliti Senior di LIPI.

Link:
https://nasional.sindonews.com/read/1178694/18/membela-wasathiyya-islam-1486708131

http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2017-02-10


1 comment: